Hubungan akrab |
---|
Jenis hubungan Peristiwa dalam hubungan |
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku[1]. Keharusan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan agama ini sejalan dengan ketetapan syari’at Islam bahwa madharat haruslah dihilangkan, dan turunan dari qaidah tersebut apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka maslahat yang lebih diutamakan. Artinya tugas dan fungsi hakim pengadilan agama merupakan tugas suci, dan dalam hal perkara perceraian hakim pengadilan agama bertugas untuk mewujudkan kembali keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah[2]. Dalam Islam bahwa perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.
Dinamika kehidupan dalam lingkup rumah tangga semakin hari semakin kompleks, sementara pasangan suamu istri dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segenap upaya yang bisa dikerahkan oleh kedua belah pihak. Konflik yang timbul dari upaya penyelesaian masalah ketika tidak terpecahkan dan terselesaikan akan menggangu dan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri tersebut (Dewi dan Basti 2008:43).
Akibat kondisi ini maka sering timbul pertengkaran yang pada akhirnya membuat mereka merasa bahwa perkawinan mereka tidak seperti yang diharapkan dan merasa kecewa. Untuk mengatasi rasa kecewa tersebut suami istri harus mengadakan negosiasi, jika negosiasi berhasil maka hubungan suami istri akan membaik, sebaliknya jika suami istri tidak menegosiasikan maka tidak menutup kemungkinan perkawinan tersebut mengalami kehancuran atau penceraian. Karim, (1999 dalam Ihromi, 2004: 137) menyatakan, perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing, dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Sedangkan, menurut Dariyo (2003: 160) perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam perkawinan.
Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Selain itu, perceraian adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan, biasanya terjadinya perceraian karena hadirnya penghasut dari keturunan sedarah sehingga melakukan intervensi berlebihan dengan tujuan perceraian itu terjadi. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan berakhirnya hubungan suami istri karena ketidakcocokan antara keduanya serta dapat dibuktikan oleh pihak pengugat dan diputuskan oleh hukum.
Badrus (2003: 45) mengemukakan bahwa perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan, menyempurnakan cinta antar suami istri karena perselingkuhan perasaan dengan orang lain atau keturunan sedarah, dan juga terlalu menurut dengan hasutan keturunan sedarah.
Krantzler (dalam Machasin, 2006:33) menyatakan bahwa perceraian bagi kebanyakan orang adalah sebagai masa transisi yang penuh kesulitan terutama jika dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat tentang perceraian. Jika masyarakat memandang perceraian sebagai suatu yang tidak patut, maka dalam proses penyesuaian kembali seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi. Perceraian dapat terjadi apabila pasangan suami isteri sudah tidak mampu menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi diantara mereka dengan catatan kedua belah pihak tidak di intervensi penghasut yang memiliki tujuan perceraian itu terjadi.
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa perceraian selamanya menjadi hal buruk, kadang perceraian memang jalan terbaik bila melihat dampak yang akan terjadi pada anak maupun anggota keluarga lain apabila pernikahan tetap dilanjutkan contoh seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (Farida, 2007:17). Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan suami istri sebagai akibat dari kegagalan dalam mengembangkan, menyempurnakan cinta antar suami istri dan keturunan sedarah dikarenakan kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan dengan terpaksa karena dihadapkan pada dua pilihan, sehingga mereka berhenti melakukan kewajiban sebagai suami istri., namun terkadang perceraian merupakan jalan terbaik bila melihat dampak yang akan terjadi pada anak maupun anggota keluarga lain apabila pernikahan tetap dilanjutkan[3].
Terdapat beberapa faktor utama yang biasa menjadi penyebab perceraian, tidak ada tanggung jawab, faktor Stabilitas Ekonomi disebabkan karena pernikahan dini, ikut campur tangan pihak ketiga tujuan perceraian. Selain beberapa faktor tersebut ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya perceraian seperti cemburu tanpa dasar, selingkuh perasan dengan keturunan sedarah, penghasutan, intervensi dengan tujuan perceraian, poligami tidak sehat, dipenjara, kawin paksa, penganiayaan (kekerasan dalam rumah tangga). Sering kali juga muncul sebagai penyebab perceraian.[5]
Dalam hukum positif Indonesia, perceraian hanya dapat diperbolehkan jika memiliki dasar serta bukti yang akurat seperti disebabkan oleh sebab-sebab seperti yang disebutkan dibawah ini:[6]
Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah mempunyai anak maupun yang belum sebagai berikut:[14]
Dagun (2002:113) menyatakan perceraian akan berdampak mendalam bagi setiap anggota keluarga. Kejadian ini akan menimbulkan banyak perubahan, baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1991:480) mengkategorikan akibat yang ditimbulkan dari perceraian itu dalam dua hal, yaitu: (a) Membuat keluarga menghadapi tekanan ekonomi secara tiba-tiba dimana tanggungjawab finasial menjadi bertambah, yaitu disatu sisi suami harus menghidupi keluarga yang diceraikannya dan disisi lain harus menghidupi keluarganya yang baru. (b) Mengakibatkan tekanan psikologis, baik bagi mantan pasangan maupun bagi anak mereka. Orang tua maupun anak mereka merasa terisolasi dari lingkungan sosial yang semula dekat. Belum lagi, kondisi mental anak, yang pada umumnya merasa terkucilkan dari kasih sayang orang tuanya.
Pada dasarnya perceraian itu menimbulkan dampak yang kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi keturunannya. Meskipun perceraian disatu sisi bukan cara yang baik untuk menyalesaikan suatu masalah rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan pembangunan ekonomi rumah tangga, hubungan individu dan sosial antar dua keluarga menjadi rusak. Dan yang lebih berat adalah berkaitan dengan perkembangan psikis anak mereka, yang pada giliranya akan mempengaruhi perilakunya. Menurut Dariyo (2003:168), yang telah melakukan perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negatif. Hal-hal yang dirasakan akibat perceraian tersebut diantaranya:
Akibat perceraian adalah suami-istri hidup sendiri-sendiri, suami atau istri dapat bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan status suami, istri dan anak serta terhadap harta kekayaannya. Dengan adanya perceraian akan menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan perkembangan masa depannya. Perceraian mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena kehilangan pasangan hidup, karena setiap orang tentunya mempunyai cita-cita supaya mendapatkan pasangan hidup yang abadi. Jika pasangan yang diharapkan itu hilang akan menimbulkan kegoncangan, seakan-akan hidup tidak bermanfaat lagi, karena tiada tempat untuk mencurahkan dan mengadu masalah-masalah untuk dipecahkan bersama. Jika kesepian ini tidak segera diatasi aakan menimbulkan tekanan batin, merasa rendah diri, dan merasa tidak mempunyai harga diri lagi.
Traumatis pada salah satu pasangan hidup Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman, tidak tentram, dan khawatir dalam diri.
Perceraian dipandang dari segi kepentingan anak yaitu keluarga bagi anak-anaknya merupakan tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan Iain-Iain. Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-anak akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat lain telah adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang langsung dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak ini dijamin kehidupannya dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih. Akan tetapi, kasih sayang ibunya sendiri dan bapaknya sendiri akan berbeda dan gantinya tidak akan memberikan kepuasan kepadanya.
Traumatis pada anak, Anak-anak yang ditinggalkan Orang Tua yang bercerai juga merasakan dampak negatif. Mereka mempunyai pandangan yang negatif terhadap pernikahan, mereka akan merasa takut mencari pasangan hidupnya, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran jika perceraian itu juga terjadi pada dirinya.
Apabila terjadi perceraian maka perikatan menjadi putus, dan kemudian dapat diadakan pembagian kekayaan perikatan tersebut. Jika ada perjanjian perkawinan pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut. Dalam suatu perceraian dapat berakibat terhadap harta kekayaan yaitu harta bawaan dan harta perolehan serta harta bersama. Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.
Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan Setelah bercerai, individu merasakan dampak psikologis yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis mereka tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam bekerja sehingga menggagu kehidupan kerjanya.
Berdasarkan dampak perceraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa terkadang perceraian menjadi salah satu solusi terbaik ketika permasalaham dalam rumah tangga sudah tidak mungkin lagi dikompromikan. Tetapi perceraian juga seringkali disebut membawa dampak negatif terhadap kedua pasangan dan juga berdampak mendalam bagi setiap anggota keluarganya. Terutama jika pasangan tersebut memiliki anak, tentunya dapat menimbulkan banyak perubahan, baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga. Bahkan tak jarang mereka mengalami ketidakstabilan psikologis yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah.
Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tau akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa, kebijakan hakim untuk kebaikan itulah yang diharapkan masyarakat walaupun hakim harus melanggar peraturan dan perundang undangan. Untuk itu seorang Hakim yang melaksanakan hukum, karena hakim itu memang bertugas mencegah seseorang dari kedzaliman2, Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan serta mengusahakan jangan sampai putusan yang akan dijatuhkan memungkinkan timbulnya perkara baru. Putusan harus tuntas dan tidak menimbulkan ekor perkara baru, hakim juga harus merasakan apa bila hal tersebut terjadi pada dirinya, karena pada dasarnya seorang perempuan tidaklah menginginkan perceraian itu terjadi tampa ada penghasutan serta dukungan dari penegak hukum itu sendiri[15].
Emosi berasal dari bahasa latinmovere yang artinya menggerakkan, sehingga emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan suatu keadaan. Emosi menurut Goleman (2004:239) ialah pergolakan pikiran dan perasaan, termasuk setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak. Gross, (1999) mengatakan bahwa peranan emosi tampaknya sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari.Sehingga sangat sulit membayangkan apabila seseorang tidak memiliki emosi.
Tanpa adanya sebuah emosi, seseorang tidak akan merasa sedih bila mengalami kegagalan, merasakan kebahagiaan melihat dirinya berhasil dan sukses, atau merasa malu bila melakukan kesalahan di tempat umum. Oleh sebab itu, emosi dapat muncul dari suatu kejadian yang tidak biasa, ringan atau berat, kejadian yang bersifat pribadi maupun umum, kejadian yang sederhana sampai yang kompleks. Menurut Salovey dan Sluyter (1997) emosi adalah respon-respon yang mengarahkan tingkah laku individu dan menyediakan informasi yang dapat menolong individu mencapai tujuannya. Emosi memiliki tiga komponen, yaitu:
Menurut Santrock (2007:6) emosi sering diistilahkan juga dengan perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well-being dirinya. Jadi emosi timbul karena terdapat suatu situasi yang dianggap penting dan berpengaruh dalam diri individu. English and English (Yusuf 2008:114) menyatakan bahwa emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activities”. Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Anak yang mengalami emosi akan merasakan perubahan motoris dan kegiatan kelenjar yang bergerak lebih cepat. Goleman (2004 Desmita 2013:116), menggunakan istilah emosi merujuk pada a feeling and its distinctive thoughts, psychological and biological states, and range of propensities to act. Menurut Crow and Crow (1990 dalam Syaodih 2005:46) mengungkapkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dalam keselamatan individu. Anak yang mengalami emosi akan melakukan penyesuaian dengan lingkungannya agar memperoleh kenyamanan, kesejahteraan dan keselamatan. LeDoux (2007 dalam Beaty (2013:159) menjelaskan sebuah emosi merupakan pengalaman subjektif, invasi kesadaran yang bersemangat, sebuah perasaan. Jadi emosi memiliki pengalaman, kesadaran diri dan menghasilkan sebuah perasaan (Yulina, 2015:78). Berdasarkan beberapa pengertian emosi di atas di dapati sebuah kesimpulan bahwasanya emosi adalah setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak. Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Karena itu seseorang yang mengalami emosi akan melakukan penyesuaian dengan lingkungannya agar memperoleh kenyamanan, kesejahteraan dan keselamatan.
Regulasi emosi adalah strategi yang dilakukan individu untuk memelihara, menaikkan, dan atau menurunkan perasaan, perilaku, dan respon fisiologis secara sadar maupun tidak sadar. Regulasi emosi ini dilakukan untuk mencapai keinginan sosial dan respon fisik serta psikologis yang tepat terhadap permintaan instrinsik dan ekstrinsik Hwang (2006 dalam Fitri, 2012:2). Thompson (1991:288) menggambarkan regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses–proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan.
Regulasi emosi menurut Gross (1999 dalam Alfian 2014:266) adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001). Regulasi itu sendiri adalah bentuk kontrol yang dilakukan seseorang terhadap emosi yang dimilikinya. Regulasi dapat mempengaruhi perilaku dan pengalaman seseorang. Hasil regulasi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi, atau dihambat dalam ekspresinya. Regulasi emosi berasal dari sumber sosial. Sumber sosial ini merupakan bagian dari minat terhadap orang lain dan norma-norma dari interaksi sosial Frijda (1986 dalam Alfian, 2014:265).
Garnefski (2001:1311) menjelaskan, regulasi emosi secara kognisi berhubungan dengan kehidupan manusia, dan membantu individu mengelola, mengatur emosi atau perasaan, dan mengendalikan emosi agar tidak berlebihan. Sedangkan menurut Gross dan Thompson (2007:21) regulasi emosi adalah serangkaian proses dimana emosi diatur sesuai dengan tujuan individu, baik dengan cara otomatis atau dikontrol, disadari atau tidak disadari dan melibatkan banyak komponen yang bekerja terus menerus sepanjang waktu. Gross dan Thompson (2007:27) mengemukakan bahwa regulasi emosi yang dilakukan individu merupakan usaha individu untuk memberikan pengaruh terhadap emosi yang muncul dengan cara mengatur bagaimana individu merasakan dan mengekspresikan emosinya agar tetap dapat bersikap tenang dan berfikir jernih. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah proses yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.
Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat jika memenuhi lima dari tujuh kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004:240) yaitu :
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (2007 dalam Yusuf, 2015:17) ada lima proses dalam regulasi emosi yaitu pemilihan situasi, modifikasi keadaan, penyebaran perhatian, perubahan kognitif, dan perubahan respon.
Menurut Garnefski (2003 dalam Salamah, 2008:4) ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi, yaitu:
Menurut Goleman (2004:241) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu:
Coon (2005 Anggreny, 2014:6) menyatakan, emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur kondisi emosinya. Faktor faktor tersebut antara lain:
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah lingkungan, pengalaman selama hidup. Bentuk-bentuk pola asuh, pengalaman traumatis, usia dan juga perubahan fisik memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi pola emosi yang dikembangkan oleh individu. Temperamen pada masa bayi memegang peranan dalam perkembangan pengendalian emosi bagi setiap individu.
![]() |
Lihat informasi mengenai perceraian di Wiktionary. |