Teori perang yang adil (bahasa Inggris: just war) atau perang yang sah, atau secara lebih tepat teori perang yang dapat dibenarkan (bahasa Latin: jus bellum iustum), adalah suatu doktrin, juga disebut sebagai suatu tradisi, etika militer yang dipelajari oleh para teolog, pakar etika, pembuat kebijakan, dan pemimpin militer. Tujuan dari doktrin ini adalah membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori-doktrin tentang perang yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan, dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi.

Tradisi Perang yang Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian: kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya (keprihatinan tentang jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang jus in bello). (Sumber: [1] Diarsipkan 2009-05-09 di Wayback Machine. Meninjau kembali alasan yang sah])

Pada tahun-tahun yang lebih belakangan, muncul pula kategori yang ketiga - Jus post bellum, yang mengatur bagaimana suatu peperangan dapat diakhiri dengan adil dan perjanjian perdamaian dapat dicapai, sementara penjahat-penjahat perang juga diadili.

Doktrin tentang Perang yang Sah mempunyai akar yang sudah tua sekali. Nyanyian Debora dalam Alkitab Ibrani dalam Kitab Hakim-hakim membahas konsep dari Zaman Perunggu tentang apa yang membedakan perang suci "yang adil". Cicero membahas gagasan ini beserta aplikasi-aplikasinya. Augustinus dari Hippo, Thomas Aquinas dan Hugo Grotius belakangan menyusun suatu perangkat hukum untuk Perang yang Sah, yang hingga masa kini masih mencakup pokok-pokok yang sering diperdebatkan, dengan sejumlah modifikasi.

Mengapa Perang yang Sah dipandang perlu?

Selama beribu-ribu tahun, perang dianggap sebagai suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, memuakkan namun tidak terhindarkan. Dalam sejarah Barat, salah satu pertanyaan yang terus-menerus diajukan ialah: dapatkah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah situasi-situasi atau kondisi-kondisi di mana membunuh dapat dianggap sebagai suatu tuntutan moral? Bila membunuh dapat dibenarkan, apakah batasan-batasan moral yang harus diberikan – apabila memang ada? Doktrin tentang Perang yang Sah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk membenarkah peperangan, atau suatu tindakan perang.

Sementara doktrin tentang Perang yang Sah beranggapan bahwa membunuh, dalam pengertian umum, secara moral tidak dapat diterima, doktrin ini pun mengakui bahwa perang antara negara tidak dapat dihindari dan akan menyebabkan kematian. Doktrin tentang Perang yang Sah berusaha untuk mendefinisikan kondisi-kondisi dan situasi-situasi di mana pembunuhan terhadap orang lain menjadi suatu kewajiban moral. Kepedulian utama dari Doktrin tentang Perang yang Sah adalah perlindungan terhadap mereka yang tidak bersalah (orang-orang yang tidak ikut berperang), penyusunan aturan-aturan yang dapat meminimalkan kematian, dan pelaksanaan perang di dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Karena itu, Perang yang Sah tidaklah semata-mata ditentukan oleh kriteria utilitarian semata-mata, tetapi juga oleh sarana-sarananya, prinsip-prinsipnya, dan nilai-nilainya.

Menurut St. Agustinus

Santo Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa hal ini adalah suatu sikap pribadi, suatu pendirian filosofis:[1]

"Apa yang diperlukan di sini bukanlah tindakan fisik, tetapi suatu disposisi batin. Tahta suci kebajikan adalah hati."

Meski demikian, ia menegaskan, kedamaian dalam menghadapi suatu kesalahan yang berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, akan menjadi suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama jika diizinkan oleh suatu otoritas yang resmi dan sah:[2]

"Mereka yang telah berperang dalam ketaatan pada perintah ilahi, atau sejalan dengan hukum-Nya, telah terwakili dalam diri mereka keadilan publik atau kebijaksanaan pemerintah, dan dalam kapasitas ini telah membunuh orang-orang jahat; orang-orang tersebut tidaklah berarti melanggar perintah, 'Jangan membunuh'."

Walau tidak merinci persyaratan yang dibutuhkan agar perang dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang adil/sah), Agustinus mengambil istilah tersebut dari karyanya sendiri Kota Allah:[2]

"Tetapi, kata mereka, orang bijak akan melancarkan perang yang adil (just war). Seolah ia tidak akan lebih meratapi pentingnya perang yang adil, jika ia ingat bahwa ia seorang manusia; karena jikalau tidak adil ia tidak akan melancarkannya, dan karena itu akan bebaslah dari segala peperangan."

Sementara bagi seorang Kristen yang berada di bawah kekuasaan suatu pemerintahan dan terlibat dalam perang yang tidak bermoral, Agustinus memperingatkan bahwa orang-orang Kristiani, "menurut perintah ilahi, tidak mempunyai pilihan selain tunduk pada para pimpinan politik mereka dan [harus] berusaha untuk memastikan bahwa mereka menjalankan tugas mereka dalam peperangan dengan seadil mungkin."[3]

Kapan suatu perang dapat dianggap sah berdasarkan kriteria ini? (Jus ad bellum)

Dalam bahasa modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria berikut ini sebelum penggunaan kekerasan dapat dilaksanakan (Jus ad bellum):

Perhatikan bahwa semua ini hanyalah kondisi-kondisi yang paling umum dikutip oleh para teoretikus Perang yang Sah; sebagian orang (seperti misalnya Brian Orend) menghilangkan Perbandingan Keadilan, karena menganggapnya sebagai lading yang subur untuk dieksploitasi oleh rezim-rezim yang ingin mengadakan perang.

Melaksanakan suatu Perang yang Sah (Jus in Bello)

Sekali peperangan telah dimulai, Doktrin tentang Perang yang Sah juga mengarahkan bagaimana para kombatan harus bertindak:Jus in bello

Memaksa orang untuk menyerahkan hidupnya, atau menimbulkan kematian dalam cara yang berlawanan dengan kehendak mereka, atau tanpa keyakinan tentang kebenaran tindakan mereka, adalah suatu tindakan yang merendahkan harkat kemanusiaan.

Mengakhiri suatu Perang: Jus Post Bellum

Pada tahun-tahun belakangan, sebagian teoretikus telah mengusulkan kategori yang ketiga di dalam Doktrin tentang Perang yang Sah. Jus post bellum berkaitan dengan pengaturan tentang proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian. Salah satu adri penganjur utama dari jus post bellum ini adalah Brian Orend, yang mengusulkan aturan-aturan berikut:

Tantangan

Telah muncul sejumlah teori yang menantang Doktrin tentang Perang yang Sah. Sebagian juga mencatat bahwa Doktrin tentang Perang yang Sah tidak praktis dalam situasi-situasi perang sungguhan.

Doktrin-doktrin alternatif

Doktrin tentang Perang yang Sah dan Situasi perang yang sesungguhnya

Teoretikus Perang yang Sah

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) Robert L. Holmes. "City of God". ChristianityToday.com. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  2. ^ a b (Inggris) "City of God". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-25. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  3. ^ (Inggris) Augustine: Political and Social Philosophy, §3-c "War and Peace - The Just War"

Pranala luar

Small, Brad. Thomas Aquinas "The Just War Theory" The Lincoln-Douglas Great Philosopher Library Series

Yang menentang