Artikel atau bagian mungkin perlu ditulis ulang agar sesuai dengan standar kualitas Wikipedia. Anda dapat membantu memperbaikinya. Halaman pembicaraan dari artikel ini mungkin berisi beberapa saran.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam suku, budaya dan adat yang begitu melimpah. Puluhan bahkan ratusan budaya terdapat dalam satu negara Indonesia. Dan salah satunya, yaitu budaya Sulawesi Selatan dan terkhusus budaya yang ada di Kabupaten Maros. Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke Toraja, juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari etnis Bugis dan Makassar. Budaya masyarakat Maros diwarnai oleh budaya Bugis dan Makassar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru. Nuansa budaya Bugis dapat ditemukan di bagian timur, utara, dan tengah dari wilayah Maros, sedangkan nuansa budaya Makassar dapat ditemukan di bagian selatan dan barat dari wilayah Maros. Di desa Labuaja, kecamatan Cenrana, Maros, terdapat penggunaan tutur bahasa Dentong yang mana begitu berbeda dengan bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua etnis ini telah membentuk watak dan karakteristik masyarakat Kabupaten Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya. Sebagai tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari nama-nama kegiatan budaya yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis. Kekayaan budaya Kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Beberapa ekspresi budaya yang dituangkan dalam suatu bentuk kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kehidupan manusia masa lampau di Kabupaten Maros.

Budaya Siri' Na Pacce atau Siri' Sibawang Pesse adalah salah satu filosofi budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Bagi masyarakat Bugis-Makassar di Kabupaten Maros, siri' mengajarkan moralitas dalam bentuk nasihat kesusilaan, pelarangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk melestarikan dan membela diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi orang-orang Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, Pacce/Pesse mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial secara tidak egois dan ini adalah salah satu konsep yang membuat orang Bugis-Makassar mampu bertahan dan dihormati diperantauan, pasrah dengan welas asih dan merasakan beban dan penderitaan orang lain.

Masyarakat Bugis dan Makassar yang mendiami Kabupaten Maros tinggal di sebuah kampung yang terdiri atas 10 – 20 buah rumah. Kampung pusat ditandai dengan pohon beringin besar yang dianggap keramat dan dipimpin oleh kepala kampung disebut matowa. Gabungan kampung disebut wanua sama dengan kecamatan. Lapisan masyarakat Bugis dan Makassar sebelum kolonial Belanda adalah:

  1. Ana' karung: yaitu lapisan kaum kerabat raja,
  2. To-maradeka: yaitu lapisan orang merdeka, dan
  3. Ata: yaitu lapisan budak.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan Suku Bugis dalam hal perkawinan yang ideal di Kabupaten Maros sebagai berikut:

  1. Assialang Marola: adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ke satu baik dari pihak ayah/ibu.
  2. Assialanna Memang: adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ke dua baik dari pihak ayah/ibu.

Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua. Kegiatan-kegiatan sebelum perkawinan, meliputi:

  1. Mappuce-puce : meminang gadis,
  2. Massuro : menentukan tanggal pernikahan,
  3. Maddupa : mengundang dalam pesta perkawinan.

Pagelaran Seni Rakyat Maros

Permainan Tradisional Khas Maros

Permainan ini menyerupai permainan bola basket. Untuk membawa bola digunakan Pasodo, yaitu sejenis jala untuk menangkap ikan dan memasukkan bola takraw ke dalam keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Permainan tradisional ini telah eksis di pesisir pantai Maros.
Dilakukan dengan memainkan bola raga dengan konstruksi bola berpindah-pindah dari kaki ke kaki, merupakan aktualisasi Akrannu-rannu, kegiatan yang dilakukan ketika waktu senggang atau dalam arti lain bermain dan bersenang-senang. Tampak pemain dengan lincah memainkan bola raga sambil berdiri di atas pundak dua orang rekannya. Pa'raga merupakan permainan kesenian asli Bugis-Makassar. Diyakini bahwa sebagai asal muasal permainan sepak takraw yang telah mendunia. Sepak takraw atau sepakbola rotan telah digandrungi masyarakat dunia. Perlu diketahui, takraw pertama kali muncul di Sulawesi Selatan. Asal muasal olahraga sepak takraw adalah sepak raga, yakni sebuah permainan yang memainkan bola rotan yang dipadu dengan gerakan mirip akrobat. Ma'raga atau gerakan melakukan raga dengan menggunakan bola rotan ini, pada dasarnya adalah terdiri dari gerakan-gerakan seni bela diri. Berdasarkan cerita turun-temurun di Dusun Kaemba, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros bahwa permainan raga ini dulunya muncul dari sebuah kampung yang dahulu disebut Ujung Bulo, sebuah kampung Pa'raga di wilayah Maros. Sebuah sejarah juga mencatat perkembangan Ma'raga, ketika dari kedatangan seorang Karaeng (raja) dari Gowa yang menyebarkan islam dengan memperkenalkan alat-alat musik tradisional seperti gendang dan gong membuat ma'raga tidak lagi dilakukan dengan hanya gerakan-gerakan seperti biasa, namun diiringi dengan alat-alat musik tradisional. Hal ini dipastikan ma'raga adalah salah satu medium penyebaran agama islam di Kaemba. Sebuah catatan sejarah terawal tentang sepak raga juga terdapat dalam Sejarah Melayu. Ketika pemerintahan Sultan Mansur Shah Ibni Almarhum Sultan Muzzaffar Shah (1459 – 1477), sejalan dengan perkembangan, maka pada tahun 1940-an, pola permainan raga ini berubah dengan menggunakan jaring dan peraturan angka. Olahraga ini kemudian berkembang di kawasan Asia, tercatat sampai di Filipina yang dikenal dengan nama Sipa, di Burma dengan nama Chinlone, di Laos dengan nama Kator, dan di Thailand dengan nama Takraw. Di Kabupaten Maros, dalam berbagai seremonial atau pesta rakyat, permainan pa'raga masih digelar sebagai pendukung acara. Para pemain pa'raga biasanya adalah para pemuda yang terampil dan terlatih baik. Mereka mengenakan pakaian adat yang terdiri dari passapu (penutup kepala khas Suku Makassar berbentuk segi tiga), baju tutup (jas tradisional), dan lipa sabbe (sarung khas Makassar yang terbuat dari kain sutera), para pemuda ini beratraksi. Hingga kini, kentalnya corak islami masih melekat pada atraksi pa'raga, setiap kali melakukan atraksi ma'raga, para pemainnya kerap melafalkan Lailahaillalah dengan nada yang teratur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi permainan yang tingkat kesulitannya sangat tinggi. Kini gerakan ma'raga mampu dilakukan dengan formasi tingkat tiga, dimana gerakan membentuk tingkatan manusia sambil terus memainkan bola raga hingga pemain yang berada paling atas telah berdiri di posisinya. Gerakan inilah yang sekarang pada setiap penampilannya membuat penonton cemas bercampur kagum menyaksikan kepiawaian para pa'raga memadukan seni, kemampuan fisik, dan nuansa religius.

Adat dan Tradisi

Kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
Kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (maskawin), dan sebagainya.
Pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Tradisi Adu Betis sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen. Adu betis biasanya dilakukan di Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros, seusai panen besar. Tradisi ini sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan panen. Sawah-sawah di Moncongloe umumnya sawah tadah hujan dan hanya panen sekali dalam setahun. Jadi tidak heran kalau Mallanca diadakan hanya setahun sekali. Dan biasanya pada bulan agustus. Akibatnya, tradisi ini juga sering kali dirayakan berbarengan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Sesuai nama tradisinya, setiap pria di Maros menunjukkan kekuatan dengan cara saling menendangkan betis mereka. Tradisi ini tidak dilakukan di tempat sembarangan. Adu betis dilakukan di dekat makam Gallarang Moncongloe, leluhur Desa Moncongloe yang juga pamannya Raja Gowa, Sultan Alauddin. Mallanca dilakukan secara kelompok. Dengan membentuk lingkaran besar, adu betis dilakukan di dalam lingkaran tersebut. Masyarakat Maros juga melakukan tradisi ini untuk mengingat jasa leluhur mereka yang telah menjaga Kerajaan Gowa dengan jiwa patriot pada dahulu kala. Lebih unik lagi, adu betis ternyata bukan lomba. Tidak ada pemenang pada tradisi adu betis karena tradisi ini hanya untuk menunjukkan kekuatan peserta. Setelah adu betis selesai, tidak jarang ada peserta yang mengalami patah tulang. Meski begitu, tradisi ini tetap dinantikan kehadirannya setiap tahun oleh masyarakat Maros.

Rumah Adat Tradisional

Sebuah rumah panggung yang tidak jauh dari lokasi Air Terjun Bantimurung sekitar tahun 1900-1920.
Bangunan rumah panggung tradisional Bugis-Makassar yang beratapkan daun nipah di wilayah Maros pada tahun 1929 (bagian 1).
Bangun rumah panggung tradisional Bugis-Makassar yang beratapkan daun nipah di wilayah Maros pada tahun 1929 (bagian 2).
Bangunan arsitektur rumah tradisional suku Bugis-Makassar yang telah mengalami perubahan (warna dengan cat, material paku besi dan seng) di Kabupaten Maros.

Setiap budaya memiliki ciri khas rumah adatnya masing-masing. Macam budaya Kabupaten Maros lain yang tak kalah terkenalnya adalah arsitektur khasnya. Dimana arsitektur tradisional Kabupaten Maros ini diperlihatkan dalam bentuk rumah adat. Nama dari rumah adat suku Bugis dan Makassar sendiri disebut dengan Bola dan Balla. Kedua rumah adat ini memiliki kesamaan dalam segi bentuknya, yaitu berupa rumah panggung yang memiliki kolong bawah rumah.

Rumah adat suku Bugis di Kabupaten Maros memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain (Sumatra dan Kalimantan). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan, orang bugis menyebutnya lego. Berikut adalah bagian-bagian utamanya:

  1. Tiang utama (alliri): Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. Tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Padongko' : Yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
  3. Pattoppo: Yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

Orang Bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong. Konon, orang Bugis, jauh sebelum islam masuk ke Tanah Bugis (Tana Ugi), orang Bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian atas/perkawinan di langit yang dilakukan oleh We Tenriabeng (botting langi' ), bagian tengah/di bumi/keadaan-keadaan yang terjadi di bumi (alang tengnga/ale kawa' ), dan bagian bawah atau dunia bawah tanah/laut (paratiwi/peretiwi/buri liu/). Mungkin itulah yang mengilhami orang Bugis (terutama yang tinggal di kampung) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.

Bagian-bagian dari rumah adat tradisional Bugis ini sebagai berikut:

  1. Rakkeang: adalah bagian di atas langit-langit (eternit). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola: adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah (posi' bola).
  3. Awa Bola: adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang dipergunakan dalam pertanian. Ale bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktivitas lainnya. Badan rumah terdiri dari beberapa bagian rumah seperti: lotang risaliweng, pada bagian depan badan rumah disebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke pemakaman. Lotang ritenggah atau Ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama istri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan sosial antara sesama anggota keluarga lebih banyak berlangsung di sini. Lontang rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan dapureng atau jongke. Rakkeang ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil perkebunan lainnya. Sebagaimana halnya unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisional pun senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan.

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah Bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun orang dahulu kala menggantikan fungsi paku besi menjadi paku kayu. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat/dipindah.

Sementara Rumah adat tradisional suku Makassar di Kabupaten Maros berupa panggung yang terdiri atas 3 bagian sebagai berikut:

  1. Kalle balla: untuk tamu, tidur, dan makan.
  2. Pammakkang: untuk menyimpan pusaka.
  3. Passiringang: untuk menyimpan alat pertanian.

Rumah adat suku Bugis-Makassar berdasarkan status sosial orang yang menempatinya:

  1. Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang ditempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan)
  2. bola/balla adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa

Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa disebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan penghuninya.

Hal juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa Bugis antara lain bola ugi yang dulunya berbentuk rumah panggung sekarang banyak yang diubah menjadi rumah yang berlantai batu. Agama Islam juga memberi pengaruh kepada letak dari bagian rumah sekarang yang lebih banyak berorientasi ke Kabah yang merupakan kiblat umat Islam di seluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan budaya Islam telah membudaya di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, simbol-simbol yang dulunya dipakai sebagai pengusir mahluk halus yang biasanya diambil dari dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang tertentu diganti dengan tulisan dari ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Alat Musik Tradisional

Tari

Penari Pajoge di Maros pada zaman Hindia Belanda (sekitar tahun 1870)
Tar Paraga, ciri khas tari Suku Makassar di Kecamatan Marusu Kabupaten Maros.

Atraksi Kesenian

Pakaian Khas Daerah

Pakaia adat pernikahan Bugis-Makassar di Kabupaten Maros dengan nuansa kekinian.
Baju Bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis Maros di acara pernikahan.
Baju Bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis Maros di acara aqiqahan.

Kabupaten Maros dihuni oleh penduduk dari latar belakang yang heterogen. Di antara penduduk-penduduk tersebut, Suku Makassar dan Suku Bugis adalah yang paling dominan. Masing-masing suku yang hidup dan tinggal di Kabupaten Maros mempunyai ciri khas adat dan kebudayaannya masing-masing, salah satunya adalah dalam gaya berpakaian. Dengan demikian, pakaian adat tradisional Kabupaten Maros bermacam-macam karena tergantung budaya suku tersebut. Baju bodo adalah kostum tradisional wanita Suku Bugis dan Makassar Sulawesi Selatan, Indonesia. Baju bodo persegi panjang, biasanya lengan pendek, yaitu setengah di atas siku. Baju bodo juga diakui sebagai salah satu busana tertua di dunia. Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslin yang menjadi bahan dasar baju bodo. Jenis kain yang dikenal dengan sebutan kain Muslin (Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab) pertama kali diperdagangkan di Kota Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad ke-19. Sementara pada tahun 1298, dalam buku yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo menggambarkan kalau kain Muslin dibuat di Mosul (Irak) dan diperdagangkan oleh pedagang yang disebut Musolini. Namun kain yang ditenun dari pilihan kapas yang dijalin dengan benang katun ini sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yakni pada pertengahan abad ke-9, jauh sebelum masyarakat Eropa yang baru mengenalnya pada abad ke-17, dan populer di Prancis pada abad ke-18. Kain Muslin memiliki rongga-rongga dan jarak benang-benangnya yang renggang membuatnya terlihat transparan dan cocok dipakai di daerah tropis dan daerah-daerah yang beriklim panas. Sesuai dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek. Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang menutupi bagian pinggang ke bawah badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman berwarna sama, namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa sarung sutera berwarna senada. Menurut adat Bugis, setiap warna pakaian yang dikenakan oleh wanita Bugis menunjukkan usia atau martabat pemakainya. Busana ini sering digunakan untuk upacara-upacara seperti upacara pernikahan. Tapi sekarang, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lain seperti kompetisi tari atau menyambut tamu. Secara lebih luas, baju bodo telah menjadi pakaian adat resmi yang digunakan sebagai ciri khas Provinsi Sulawesi Selatan terutama bagi para wanitanya. Baju Bodo dianggap sebagai pakaian adat Sulawesi Selatan paling pertama dikenal oleh masyarakatnya. Dalam kitab Patuntung, kitab suci ajaran Animisme dan Dinamisme nenek moyang Suku Makassar, baju ini bahkan disebutkan dengan jelas, mulai dari bentuk, jenis hingga cara pemakaiannya. Ilmu tekstil yang telah dikenal sejak zaman batu muda oleh nenek moyang Suku Makassar membuat baju bodo begitu nyaman dikenakan. Baju ini sengaja dibuat dari bahan kain muslin. Kain ini adalah kain hasil pintalan kapas yang dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang cukup renggang, menjadikan kain ini sejuk dikenakan sehingga cocok dipakai di iklim tropis Sulawesi Selatan.

Sebagian masyarakat Suku Makassar menyebut baju bodo dengan nama bodo gesung. Alasannya adalah karena pakaian ini memiliki gelembung di bagian punggungnya. Gelembung tersebut muncul akibat baju bodo dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi. Secara sederhana, baju bodo merupakan baju tanpa lengan. Jahitan hanya digunakan untuk menyatukan sisi kanan dan kiri kain, sementara pada bagian bahu dibiarkan polos tanpa jahitan. Bagian atas baju bodo digunting atau dilubangi sebagai tempat masuknya leher. Lubang leher ini pun dibuat tanpa jahitan. Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-kotak akan dikenakan dengan cara digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri. Pemakainya juga akan mengenakan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan logam, gelang, kalung, bando emas, dan cincin. Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju bodo ini. Aturan warna tersebut antara lain: (a) Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun, (b) Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun, (c) Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun, (d) Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun, (e) Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan, dan (f) Warna ungu dipakai oleh para janda. Kendati aturan tersebut pada masa silam wajib dipatuhi, namun sekarang ini para wanita yang akan menggunakan pakaian adat baju bodo bebas hendak mengenakan dengan warna apapun, mengingat kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh warga Kabupaten Maros semakin luntur setelah masuknya islam ke Indonesia.

Baju bodo hanya dikenakan oleh wanita Bugis-Makassar, sementara para prianya mengenakan pakaian adat yang bernama baju bella dada. Baju ini dikenakan bersama paroci (celana), lipa garusu' (kain sarung), dan passapu (tutup kepala seperti peci). Model baju bela dada adalah baju bentuk jas tutup berlengan panjang dengan kerah dan kancing sebagai perekat. Baju ini juga dilengkapi dengan saku di bagian kiri dan kanannya. Berbeda dengan baju bodo yang dibuat dari kain muslin, pakaian adat khusus untuk laki-laki ini justru dibuat dari bahan yang lebih tebal. Seperti dari kain lipa sabbe atau lipa garusu'. Sementara untuk warnanya biasanya tidak ada ketentuan alias bisa disesuaikan dengan selera para penggunanya. Passapu atau tutup kepala yang digunakan sebagai pelengkap baju bella dada umumnya dibuat dari anyaman daun lontar dengan hiasan miring atau benang emas yang disusun. Passapu dapat pula tidak diberi hiasan. Passapu polos atau biasa disebut passapu guru ini lazimnya digunakan oleh para dukun atau tetua kampung. Selain passapu, para laki-laki juga tak ketinggalan untuk mengenakan aksesoris pelengkap pakaian yang digunakan. Beberapa aksesoris di antaranya adalah gelang, keris, selempang atua rante sembang, saputangan, dan sigarak atau hiasan penutup kepala. Gelang yang digunakan adalah gelang dengan motif naga dan terbuat dari emas, sehingga gelang ini dinamai gelang ponto naga. Keris yang dipakai adalah keris dengan kepala dan sarung terbuat dari bahan emas. Keris ini disebut pasattimpo atau tatarapeng. Saputangan yang dikenakan adalah saputangan dengan hiasan khusus. Saputangan ini dinamai passapu ambara. Nah, demikianlah penjelasan tentang pakaian adat Sulawesi Selatan, baik untuk kaum pria maupun wanitanya. Pakaian ini dahulu digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Akan tetapi, saat ini biasanya hanya digunakan saat-saat tertentu saja, seperti saat upacara adat atau acara-acara resmi kepemerintahan.

Pakaian Khas Maros

Pakaian Adat Suku Bugis Maros

Pria:

Wanita:

Pakaian Adat Suku Makassar Maros

Pria:

Wanita:

Senjata Tradisional

Model Badik Bugis Khas Maros
Model Badik Makassar Khas Maros

Dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Maros di masa silam, senjata tradisional memiliki peranan penting dalam fungsi praktisnya sebagai sarana perlindungan diri, alat perang, maupun sebagai alat untuk mempertahankan hidup. Akan tetapi, senjata-senjata tersebut kini telah beralih kegunaan dan lebih menonjolkan fungsi estetisnya sebagai pelengkap pakaian adat. Masyarakat Kabupaten Maros mengangkat badik sebagai senjata tradisionalnya. Badik adalah pisau bermata tunggal yang bentuknya asimetris seperti keris dengan bilah berhias pamor. Dahulu, badik digunakan para petani untuk berburu atau membunuh hewan hutan yang merusak tanamannya. Pada perkembangannya, ia juga digunakan sebagai sarana perlindungan diri bagi mereka yang sering merantau. Seperti diketahui, orang Bugis-Makassar adalah orang yang dikenal sangat gemar merantau. Dengan menyematkan badik di pinggangnya, mereka akan merasa terlindungi meski masuk ke wilayah kampung yang asing. Badik bagi masyarakat Kabupaten Maros, selain dianggap sebagai benda pusaka juga pelindung. Badik digunakan untuk membela harga diri baik sifatnya individu maupun keluarga. Badik telah menjadi salah satu simbol pada logo Kabupaten Maros. Harga diri bagi masyarakat Maros secara umum disebut dengan istilah Siri' Na Pacce (Makassar) atau Siri' Na Pesse (Bugis).

Kabupaten Maros memiliki beberapa senjata tradisional sebagai berikut:

Kuliner Khas

Masakan

Masakan khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

Burasa' adalah masakan khas dan wajib ada bagi masyarakat Maros pada hari lebaran.
Masakan Sop saudara khas Kabupaten Maros dengan pilihan daging dan jeroan serta racikan bumbu khas.

Jajanan

Roti Maros, jajanan khas dari Kabupaten Maros yang banyak digemari pelbagai wisatawan yang datang ke Maros.

Jajanan khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

Minuman

Minuman khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

Oleh-oleh Khas

Oleh-oleh khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

Bahasa dan Kesusasteraan

Penerapan mata pelajaran muatan lokal baca tulis aksara Lontara telah diterapkan dari jenjang pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Maros.

Bahasa merupakan salah satu pemersatu bangsa yang juga merupakan sarana untuk berkomunikasi antar sesama warga. Nah di Kabupaten Maros sendiri bahasa daerah yang digunakan adalah Bahasa Bugis (Basa Ugi), Bahasa Makassar (Basa Mangkasara'), dan Bahasa Dentong. Bahasa Bugis ini dituturkan oleh orang Bugis yang ada di Kabupaten Maros. Bahasa Bugis yang ada di Kabupaten Maros memiliki dialek tersendiri yang dinamakan Bahasa Bugis Dialek Maros. Perbedaan ini terletak pada perbedaan segi fonetis dan fonemis dimana berbeda dengan Bahasa Bugis Dialek Bone, Wajo, Soppeng, Luwu, Sidrap, Barru, Sawitto (Pinrang), Pangkep, dan masih banyak lainnya. Sementara untuk suku Makasar yang ada di Kabupaten Maros menggunakan bahasa daerah Bahasa Makassar. Bahasa Makassar yang ada di Kabupaten Maros juga memiliki dialek tersendiri yang dinamakan Bahasa Makassar Dialek Maros. Bahasa Makassar Dialek Maros berbeda dengan Bahasa Makassar Dialek Lakiung (Gowa), Pangkep, Turatea (Jeneponto), Takalar, dan lain sebagainya.

Etnik Bugis-Makassar mempunyai aksara tulisan bernama aksara Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis-Makassar mengucapkan Basa Ugi/Mangkasara' dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka. Kata “ lontara' ” berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti “daun lontar”. Karena pada awalnya tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri ke kanan. Lontara Bugis dan Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat Bugis-Makassar klasik di Kabupaten Maros. Tidak heran apabila nama-nama jalan dan tempat-tempat pemerintahan di wilayah Kabupaten Maros bertuliskan aksara Lontara.

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Lontara sendiri berasal dari kata “lontar” yang merupakan salah satu jenis tumbuhan yang ada di Sulawesi Selatan. Istilah lontara juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis, salah satunya terdapat pada Sureq La Galigo. Menurut profesor Mattulada, bentuk dasar aksara Lontara berasal dari bentuk filosofis sulapa' appa' walasuji. Sulapa' appa' (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia, yaitu api (pepe') – air (je'ne) – angin (anging) – tanah (butta). Sedangkan walasuji berarti sejenis pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual.

Aksara Lontara terdiri dari 23 huruf untuk Lontara Bugis dan 19 huruf untuk Lontara Makassar. Selain itu, perbedaan Lontara Bugis dengan Lontara Makassar yaitu pada Lontara Bugis dikenal huruf ngka, mpa, nca, dan nra sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada. Para leluhur Bugis pun memberikan nasihat kepada anak cucunya yang hendak merantau dengan aksara lontara. Nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan. Engkau bersiap-siap meninggalkan negerimu menuju ke sebuah negeri yang lain. Semoga engkau menjadi orang kaya dan sejahtera di negeri orang. Pahamilah dengan baik bahwa kaya itu memiliki empat tanda-tanda. Pertama-tama, kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi. Kedua, kaya dalam pemikiran dan imajinasi. Ketiga, kaya dalam dunia usaha (memiliki banyak keahlian dan relasi bisnis). Keempat, kaya dalam keuangan.

Partikel-Partikel Bahasa Bugis-Makassar Di Kabupaten Maros

  1. ji
  2. ki
  3. mi
  4. pi
  5. mo
  6. ma'
  7. di'
  8. tonji
  9. tawwa
  10. pale

Dialek Maros

No. Bahasa Inggris Bahasa Indonesia Dialek Maros
Bahasa Bugis Bahasa Makassar
1. to eat makan anre kanre
2. to walk jalan jokka jappa
3. to take ambil ala alle
4. to see lihat kita cini
5. house rumah bola balla
6. sourness rasa asam kecci kacci
7. red merah cella eja
8. cat kucing meong miong
9. one satu se'di se're
10. two dua duwa ruwa
11. money uang doi doe
12. to laugh ketawa macawa makkala
13. water air wae je'ne
14. day hari/siang esso allo
15. three tiga tellu tallu
16. fart kentut ettu' attu'
17. banana pisang utti unti
18. younger sister/brother adik anri andi'
19. name nama aseng areng
20. four empat eppa' appa'
21. monday senin seneng sanneng
22. ten sepuluh seppulo sampulo
23. time waktu wettu wattu
24. lucky mujur upe' upa'
25. snake ular ula' ulara'
26. arrogant sombong tempo tampo
27. to tie ikat sio' sikko'
28. with dengan sibawang siagang
29. to kick sepak sempe' sempa'
30. sandal sendal sendala' sandala'
31. sand pasir kessi kassi
32. bracelet gelang potto ponto
33. plate piring penne panne
34. black hitam lotong le'leng
35. deterrent jera jerra jarra
36. big besar loppo lompo
37. lumpy kental kentala' gantala'
38. even genap genne' ganna'
39. to want ingin elo ero
40. frog katak tuppang cuppang
41. blood darah dara cera'
42. mirror cermin camming carammeng
43. toothless ompong cemmo cammo
44. sewage comberan cemme cammara'
45. gold emas ulaweng bulaeng
46. man pria urane bura'ne
47. paper kertas ujang bujang
48. rice beras berre berasa'
49. iron besi bessi bassi
50. yarn benang wennang bannang

Kata-Kata Mutiara Khas Daerah

Petuah

Pesan para leluhur Bugis memberikan nasihat kepada anak cucunya yang hendak merantau dengan aksara lontara. Nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan.

Engkau bersiap-siap meninggalkan negerimu menuju ke sebuah negeri yang lain. Semoga engkau menjadi orang kaya dan sejahtera di negeri orang. Pahamilah dengan baik bahwa kaya itu memiliki empat tanda-tanda. Pertama-tama, kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi. Kedua, kaya dalam pemikiran dan imajinasi. Ketiga, kaya dalam dunia usaha (memiliki banyak keahlian dan relasi bisnis). Keempat, kaya dalam keuangan.

Cerita Rakyat

Rujukan

  1. ^ Anthony, Rio (2019-06-24). "Disbupar Maros Gelar Festival Gendang dan Kecapi". www.tagar.id. Diakses tanggal 2019-06-25. 
  2. ^ Fadli, Andi Chaerul (2015-03-17). "Batik Maros Kini Punya HKI". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-09-21. 
  3. ^ a b "Motela, Bumerang Asli Indonesia yang Bisa 'Lumpuhkan' Mangsa Seperti Milik Suku Aborigin". www.boombastis.com. Diakses tanggal 2019-09-12. 
  4. ^ a b c d e f g Sulistiarmi, Wike. "7 Kuliner Maros yang Wajib Dicicipi Wisatawan". phinemo.com. Diakses tanggal 2019-06-25. 
  5. ^ a b c d Bakrie, Moehammad (2019-02-28). "Gurih Wangi Paduan Kopi dan Santan Khas Rammang-rammang Maros". detikcom. Diakses tanggal 2019-09-18.