Bagian dari seri |
Alkitab |
---|
Kanon Alkitab dan kitab-kitabnya |
Tanakh (Taurat · Nevi'im · Ketuvim) Kanon Alkitab Kristen · Alkitab Ibrani Perjanjian Lama (PL) · Perjanjian Baru (PB) Deuterokanonika · Antilegomena Bab dan ayat dalam Alkitab Apokrifa: (Yahudi · PL · PB) |
Perkembangan dan Penulisan |
Terjemahan dan Naskah |
Taurat Samaria Gulungan Laut Mati Teks Masorah Targum · Pesyita Septuaginta · Vulgata Alkitab Goth · Vetus Latina Alkitab Luther · Alkitab Inggris · Alkitab Indonesia |
Studi |
Kode Alkitab Novum Testamentum Graece Hipotesis dokumen Kategori PB Konsistensi internal Arkeologi · Artefak |
Tafsir |
Hermeneutika · Pesyer · Midras · Pardes · Penafsiran alegori Alkitab · Literalisme · Nubuat · Homoseksualitas |
Daftar dan Garis besar topik |
Artefak · Nama · Tokoh |
Kanon dari Perjanjian Baru adalah sekumpulan kitab yang dipandang oleh umat Kristen sebagai terinspirasi secara ilahi (atau otoritatif) dan merupakan Perjanjian Baru (PB) dari Alkitab Kristen. Telah disepakati sebagian besar kalangan bahwa kanon Perjanjian Baru memuat 27 kitab yang mencakup Injil Kanonik, Kisah Para Rasul, surat dari para Rasul, dan Kitab Wahyu. Kitab-kitab dalam kanon Perjanjian Baru utamanya ditulis pada abad pertama dan sudah menempati tempat terhormat sekitar tahun 150 M.
Bagi kalangan Ortodoks, pengakuan otoritatif atas tulisan-tulisan ini disahkan dalam Konsili Quinisextum pada tahun 692 kendati penerimaannya nyaris secara universal pada sekitar pertengahan tahun 300-an.[1] Kalangan Katolik membuat ketetapan dogmatis atas kanon Alkitab yang digunakannya pada Konsili Trente tahun 1546, dengan menegaskan kembali kanon-kanon dari Konsili Florence tahun 1442 dan Afrika Utara (Hippo dan Kartago) tahun 393–419.[2][3] Bagi Gereja Inggris, penetapan dogmatisnya termuat dalam 39 Artikel tahun 1563; sedangkan kalangan Calvinis memuatnya dalam Pengakuan Iman Westminster tahun 1647.
Tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan para Rasul telah beredar di kalangan komunitas-komunitas Kristen paling awal. Surat-surat Paulus beredar pada akhir abad ke-1 M, mungkin dalam bentuk-bentuk kumpulan.[a] Yustinus Martir, pada pertengahan abad ke-2, menyebutkan "memoar para rasul" dibaca pada hari Minggu bersamaan dengan "tulisan para nabi".[4] Sebuah set yang terdefinisikan berisi empat injil (Tetramorph) dinyatakan oleh Ireneus, c. 180, yang mengacu langsung padanya.[5][6]
Pada awal abad ke-3, Origen mungkin telah menggunakan kedua puluh tujuh kitab yang sama seperti dalam kanon Perjanjian Baru saat ini meskipun saat itu masih ada perdebatan seputar penerimaan atas Surat Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 Yohanes, 3 Yohanes, Yudas, dan Wahyu,[7] yang mana dikenal sebagai Antilegomena. Demikian pula fragmen Muratori memberikan bukti bahwa mungkin sejak tahun 200 telah ada sekumpulan tulisan Kristen yang agak mirip dengan 27 kitab dalam kanon PB, mencakup empat injil dan menentang keberatan atas kitab-kitab itu.[8] Dengan demikian, kendati ada perdebatan dalam Gereja perdana seputar kanon Perjanjian Baru, tulisan-tulisan yang utama diakui penerimaannya oleh hampir semua kalangan Kristen pada pertengahan abad ke-3.[9]
Dalam surat Paskah yang ditulisnya pada tahun 367, Athanasius, Uskup Aleksandria, memberikan suatu daftar kitab yang kemudian menjadi kanon PB yang berisikan 27 kitab,[10] dan ia menggunakan kata "dikanonisasi" (Greek: κανονιζόμενα kanonizomena) sehubungan dengan kitab-kitab tersebut.[11][halaman dibutuhkan] Konsili pertama yang menerima kanon Perjanjian Baru saat ini kemungkinan adalah Sinode Hippo Regius di Afrika Utara (tahun 393). Suatu ringkasan singkat hasil sinode tersebut dibacakan dan diterima oleh Konsili Kartago pada tahun 397 dan 419.[12] Konsili-konsili tersebut berada di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang menganggap seolah-olah kanon telah ditutup sejak saat itu.[13][14][15] Konsili Roma tahun 382 di bawah otoritas Paus Damasus I, di mana Decretum Gelasianum dianggap berkaitan dengan konsili ini, mengeluarkan sebuah kanon Alkitab yang identik dengan yang disebutkan di atas,[10] atau, jika tidak, daftar tersebut sekurang-kurangnya merupakan kompilasi dari abad ke-6.[16] Penugasan oleh Paus Damasus I untuk mengerjakan Alkitab edisi Vulgata berbahasa Latin, c. 383, memiliki peranan penting dalam penetapan kanon di Barat.[17] Dalam sebuah surat (c. tahun 405) kepada Eksuperius (seorang uskup dari Toulouse), Paus Innosensius I mengirimkan daftar kitab-kitab suci tersebut.[18] Para akademisi Kristen mengegaskan bahwa, ketika para uskup dan konsili ini berbicara mengenai hal tersebut, bagaimanapun mereka tidak mendefinisikan sesuatu yang baru, melainkan "meratifikasi apa yang telah menjadi pemikiran Gereja."[13][19][20]
Dengan demikian beberapa mengklaim bahwa sejak abad ke-4 telah ada kebulatan suara di Barat mengenai kanon Perjanjian Baru,[21] dan pada abad ke-5 Gereja Timur, dengan beberapa pengecualian, telah sampai pada penerimaan Kitab Wahyu dan karenanya berada dalam keselarasan dengan Barat perihal kanon tersebut.[2][22]
Lihat pula: Gereja perdana dan Sejarah Kekristenan awal |
Kira-kira sepanjang tahun 50–150, sejumlah dokumen mulai beredar di antara gereja-gereja, seperti surat, injil, memoar, apokalipsis, homili, dan kumpulan ajaran-ajaran. Meskipun beberapa dokumen ini berasal dari para rasul, yang lainnya dapat ditelusuri dari tradisi yang digunakan para rasul tersebut dalam misi mereka masing-masing. Yang lainnya lagi merepresentasikan suatu ringkasan ajaran yang diberikan kepada suatu pusat gereja tertentu. Beberapa tulisan ini berupaya untuk memperluas, menafsirkan, dan menerapkan ajaran apostolik (para rasul) untuk memenuhi kebutuhan umat Kristen di sebuah wilayah tertentu.
Pada akhir abad ke-1, beberapa surat Paulus dapat diketahui dari tulisan Klemens dari Roma, bersama-sama dengan beberapa bentuk "perkataan Yesus"; kendati Klemens sangat menghargai surat-surat ini, ia tidak menganggapnya sebagai "Kitab Suci" ("graphe") —suatu istilah yang ia khususkan bagi Septuaginta. Bruce M. Metzger menarik kesimpulan berikut mengenai Klemens:[23]
Artikel utama: Surat Petrus yang Kedua |
Dalam Perjanjian Baru itu sendiri, ada referensi untuk setidaknya beberapa karya Paulus yang disebut sebagai Kitab Suci (Scripture). 2 Petrus 3:16 menuliskan:
Yang direferensikan (mungkin Septuaginta) sebagai tulisan-tulisan (kitab-kitab suci) "yang lain" menunjukkan bahwa penulis 2 Petrus memandang, setidaknya, karya-karya Paulus yang telah dituliskan pada zamannya sebagai Kitab Suci. Sulit untuk menentukan waktu penulisan surat 2 Petrus ini; berbagai buku referensi dan komentari menempatkan tarikhnya antara 60–160 M.[24]
Bukti lain sehubungan dengan distribusi awal tulisan-tulisan Paulus adalah dari Ignatius dan Polikarpus, keduanya menulis pada awal abad kedua. Sekitar tahun 117 M, Ignatius menulis dari Smirna ke jemaat di Efesus bahwa Paulus "di dalam semua suratnya menyebut kamu dalam Kristus Yesus".[25] Pada pertengahan abad kedua, Polikarpus menulis kepada jemaat di Filipi tentang Paulus bahwa "ketika ia tidak ada di antara kamu, ia menulis surat pada kamu, yang jika kamu pelajari hati-hati, kamu akan menemukan cara dalam membangun iman yang telah diberikan kepada kamu." Polikarpus juga mengutip pernyataan Paulus dalam Efesus 4:26 sebagai "Kitab Suci".[26]
Artikel utama: Marsion |
Marsion dari Sinope, seorang uskup dari Asia Kecil yang datang ke Roma dan kemudian diekskomunikasi karena pandangannya, adalah orang pertama yang tercatat memberikan suatu usulan daftar yang unik, eksklusif, dan definitif atas kitab-kitab suci Kristen, yang disusunnya antara tahun 130–140 M.[27] Sebelum Marsion, Ignatius dari Antiokhia telah menyinggung soal kitab suci Kristen[28] untuk melawan ajaran sesat Doketisme dan kalangan Kristen penganut Hukum Musa, namun ia tidak mendefinisikan suatu daftar kitab-kitab suci. Dalam buku Origin of the New Testament,[29] Adolf von Harnack berpendapat bahwa Marsion memandang gereja pada zaman itu terutama sebagai suatu gereja Perjanjian Lama (yang "mengikuti Perjanjian dari Allah Pencipta") tanpa menetapkan kanon Perjanjian Baru secara tegas, dan bahwa gereja secara bertahap merumuskan kanon Perjanjian Baru dalam menanggapi tantangan yang diajukan Marsion.
Marsion menolak teologi keseluruhan Perjanjian Lama dan memandang Allah yang dideskripsikan di dalamnya sebagai suatu Wujud yang rendah. Dalam Antitesis karyanya, ia mengklaim bahwa teologi Perjanjian Lama tidak sesuai dengan ajaran Yesus dalam Perjanjian Baru mengenai Allah dan moralitas. Marsion meyakini bahwa Yesus telah datang untuk membebaskan manusia dari otoritas Allah dalam Perjanjian Lama dan untuk memperlihatkan keunggulan Allah dari kebaikan dan kerahiman yang disebutnya Bapa. Paulus dan Lukas adalah satu-satunya penulis Kristen yang disukai oleh Marsion, meskipun versi-versi Marsion terkait tulisan mereka berbeda dengan yang kemudian diterima oleh Kekristenan arus utama (disebut juga Kekristenan proto-ortodoks).
Marsion menciptakan suatu kumpulan kitab yang pasti tentang apa yang ia anggap sebagai sepenuhnya berwibawa, untuk menggantikan semua yang lain. Kitab-kitab ini meliputi sepuluh surat Paulus (tanpa surat-surat Pastoral) dan Injil Lukas. Tidak dapat dipastikan apakah ia menyunting sendiri buku-buku ini, menghilangkan bagian-bagian yang tidak sesuai dengan pandangannya, atau versi-versinya itu merepresentasikan suatu tradisi tekstual yang terpisah.[b]
Injil Marsion, disebut Injil dari Tuhan, berbeda dengan Injil Lukas karena tidak memiliki bagian-bagian yang menghubungkan Yesus dengan Perjanjian Lama. Ia meyakini bahwa allah Israel, yang memberikan Taurat kepada bangsa Israel, adalah allah yang sama sekali berbeda dengan Allah Maha Tinggi yang mengutus Yesus dan mengilhami Perjanjian Baru. Marsion menyebut kumpulan surat Paulus yang dibuatnya sebagai Apostolikon, yang juga berbeda dengan versi-versi yang diterima kemudian oleh Ortodoksi Kristen.
Teologi dan daftarnya Marsion ditolak dan dipandang sesat oleh Gereja mula-mula; namun ia memaksa umat Kristen lainnya untuk mempertimbangkan teks-teks mana yang kanonik dan mengapa demikian. Ia menyebarkan keyakinannya secara luas, dan mereka dikenal sebagai Marsionisme. Dalam pengantar buku Early Christian Writings, Henry Wace menyatakan:
Robert M. Price berpendapat bahwa tidak ada kejelasan bukti kalau para Bapa Gereja awal, seperti Klemens, Ignatius, dan Polikarpus, mengenali surat-surat Paulus. Ia menyimpulkan bahwa Marsion adalah orang pertama yang mengumpulkan tulisan-tulisan Paulus untuk berbagai gereja dan untuk menangani sepuluh surat Paulus, beberapa di antaranya disusun oleh Marsion sendiri, bersama-sama dengan suatu versi awal dari Lukas (bukan Injil Lukas sebagaimana sekarang dikenal):
Pada pertengahan abad ke-2, Yustinus Martir (yang mana tulisan-tulisannya dibuat antara c. 145–163) menyebutkan "memoar para rasul", yang disebut "injil-injil" oleh umat Kristen dan dianggap setara dengan Perjanjian Lama.[4][35][36] Para akademisi berbeda pendapat seputar apakah ada bukti bahwa Yustinus memasukkan Injil Yohanes dalam "memoar para rasul", atau, sebaliknya, ia mendasarkan doktrinnya tentang Logos di dalam memoar tersebut.[37][38] Yustinus mengutip surat-surat Paulus, 1 Petrus, dan Kisah dalam tulisan-tulisannya.[39]
Dalam tulisan-tulisan Yustinus, referensi-referensi yang berbeda ditemukan untuk Roma, 1 Korintus, Efesus, Kolose, dan 2 Tesalonika, serta kemungkinan untuk Filipi, Titus, dan 1 Timotius. Selain itu, ia mengacu pada suatu catatan dari sumber tanpa nama mengenai pembaptisan Yesus yang mana berbeda dengan yang tercantum dalam injil-injil sinoptik:
Artikel utama: Diatessaron |
Lihat pula: Keselarasan Injil |
Tatian dikonversi menjadi Kristen oleh Yustinus Martir dalam kunjungannya ke Roma sekitar tahun 150 dan, setelah menerima banyak pengajaran, kembali ke Suriah untuk mereformasi gereja di sana. Pada suatu waktu (c. 160) ia menyusun sebuah "Injil" harmonis tunggal dengan merangkai isi dari Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bersama dengan peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat dalam teks-teks ini. Narasi tersebut utamanya mengikuti kronologi Yohanes. Karyanya ini disebut Diatessaron ("[Harmoni] Melalui Empat") dan menjadi teks Injil resmi dari gereja Siria yang berpusat di Edessa, Mesopotamia.
Lihat pula: Injil kanonik |
Ireneus secara langsung merujuk pada suatu daftar yang terdefinisikan berisi empat injil (Tetramorph) c. 180.[5][41] Dalam karya utamanya yang berjudul Melawan Ajaran Sesat, Irenaeus mengecam beberapa kelompok Kristen yang menggunakan hanya satu Injil saja, seperti Marsionisme yang hanya menggunakan Injil Lukas versi Marsion, atau kaum Ebionit yang tampaknya menggunakan Injil Matius versi Aramaik, serta kelompok-kelompok yang menggunakan lebih dari empat injil, seperti kaum Valentinian (A.H. 1.11). Ireneus menyatakan bahwa keempat injil yang diakuinya adalah empat "Pilar Gereja": "tidak mungkin ada lebih atau kurang dari empat" katanya, sambil menyajikan analogi sebagai suatu logika bahwa ada empat penjuru bumi dan empat mata angin (3.11.8). Penggambaran yang ia buat tentang takhta Allah (diambil dari Yehezkiel 1 atau Wahyu 4:6–10) yang diwakili empat makhluk dengan empat wajah—"keempatnya memiliki muka manusia, dan muka singa di sisi kanan, serta keempatnya memiliki muka lembu di sisi kiri; keempatnya juga memiliki muka rajawali"—setara dengan injil "berwujud-empat". Penggambarannya itu merupakan asal mula simbol yang biasa dikenakan pada para Penginjil: singa (Markus), lembu (Lukas), rajawali (Yohanes), manusia (Matius). Ireneus pada akhirnya berhasil menyatakan bahwa keempat injil tersebut secara bersama-sama, dan hanya sebatas keempat injil ini saja, mengandung kebenaran. Dengan membaca masing-masing injil dalam terang yang lainnya, Ireneus menjadikan Yohanes sebagai suatu lensa yang digunakan untuk membaca Matius, Markus, dan Lukas.
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan Ireneus untuk mendukung hanya empat injil asli, beberapa penafsir menyimpulkan bahwa "Injil rangkap empat" tersebut tentu masih merupakan suatu hal yang baru pada zamannya.[42] Melawan Ajaran Sesat 3.11.7 mencatat bahwa banyak umat Kristen yang menyimpang dari ajaran resmi hanya menggunakan satu injil, sedangkan 3.11.9 mencatat bahwa beberapa menggunakan lebih dari empat. Kesuksesan Diatessaron karya Tatian pada masa yang kurang lebih sama merupakan "...suatu indikasi kuat bahwa Injil rangkap empat yang secara serentak disponsori oleh Ireneus tidak diakui secara luas, apalagi universal."[43]
Ireneus sepertinya mengutip 21 kitab Perjanjian Baru dan menyebutkan masing-masing penulisnya yang ia anggap menuliskan teks tersebut.[44] Ia menyebutkan keempat Injil, Kisah, surat-surat Paulus (selain Ibrani dan Filemon), surat pertama Petrus, surat pertama dan kedua Yohanes, serta kitab Wahyu.[c] Ireneus berpendapat bahwa tidaklah logis untuk menolak Kisah Para Rasul tetapi menerima Injil Lukas, karena keduanya berasal dari penulis yang sama;[45] dalam Melawan Ajaran Sesat 3.12.12[46] ia mencela mereka yang berpikir dirinya lebih bijaksana daripada para Rasul karena bagaimanapun para Rasul tersebut masih mewarisi pengaruh Yahudi. Ia mungkin juga merujuk Ibrani (Buku 2, Bab 30), Yakobus (Buku 4, Bab 16), dan bahkan 2 Petrus (Buku 5, Bab 28), tetapi tidak mengutip Filemon, 3 Yohanes ataupun Yudas.[47][48]
Ia berpikir bahwa surat kepada jemaat di Korintus, sekarang dikenal sebagai 1 Klemens, adalah sangat berharga tetapi tampaknya ia tidak percaya bahwa Klemens dari Roma merupakan penulisnya dan tampaknya memiliki status yang sama rendahnya seperti Suratnya Polikarpus (Buku 3, Bab 3, Ayat 3). Ia merujuk pada suatu bagian dalam Gembala Hermas sebagai kitab suci (Amanat 1 atau Perintah Pertama),[49] tetapi dalam hal ini terdapat beberapa masalah konsistensi pada pihaknya. Hermas mengajarkan bahwa Yesus bukanlah makhluk ilahi, namun seorang saleh yang kemudian dipenuhi dengan Roh Kudus dan diangkat sebagai Anak[50][51] (suatu doktrin yang disebut adopsionisme). Karya Ireneus sendiri, seperti kutipannya atas Injil Yohanes (Yoh. 1:1), menunjukkan kalau Ireneus percaya bahwa Yesus adalah selalu Allah.
Lihat pula: Bidah dalam Kekristenan |
Pada akhir abad ke-4 Epifanius dari Salamis (meninggal tahun 402) menuliskan dalam Panarion 29 bahwa sekte Nasrani menolak surat-surat Paulus. Ireneus dalam Melawan Ajaran Sesat 26.2 mengatakan bahwa kaum Ebionit menolaknya. Kisah 21:21 mungkin mencatat suatu rumor bahwa Paulus bermaksud membatalkan Perjanjian Lama, sementara Roma 3:8, 31 tampaknya menentang rumor tersebut. 2 Petrus 3:16 mengatakan bahwa surat-suratnya telah disalahgunakan oleh para bidat yang memutarbalikkannya "sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain." Pada abad ke-2 dan ke-3 Eusebius dari Kaisarea menulis dalam Sejarah Gereja 6.38 bahwa Elkasai "menggunakan teks-teks dari setiap bagian Perjanjian Lama dan Injil, serta menolak Rasul (Paulus) sama sekali"; 4.29.5 menyebutkan bahwa Tatian menolak surat-surat Paulus dan Kisah Para Rasul; 6.25 menyebutkan bahwa Origen menerima 22 kitab kanonik orang Ibrani ditambah Makabe dan keempat Injil tetapi Paulus "tidak begitu banyak menulis untuk semua gereja di mana ia mengajar, dan bahkan untuk mereka yang ia kirimkan beberapa baris kalimat saja."[52] Origen juga tercatat menerima Gembala Hermas, Surat Barnabas, dan Didache.[53]
Antara tahun 140-220, desakan dari dalam maupun luar menyebabkan Kekristenan proto-ortodoks mulai melakukan sistematisasi doktrin dan pandangannya tentang wahyu. Banyak dari sistematisasi ini terjadi sebagai suatu pertahanan terhadap beraneka ragam sudut pandang dalam Gereja perdana yang bersaing dengan perkembangan Proto-Ortodoksi. Pada tahun-tahun awal periode ini timbul beberapa gerakan keagamaan yang kuat, yang kemudian dinyatakan sesat oleh gereja di Roma: Marsionisme, Gnostisisme, dan Montanisme.
Marsion mungkin orang yang pertama kali memiliki suatu daftar kitab-kitab Perjanjian Baru yang didefinisikan secara jelas, meskipun pertanyaan tentang siapa yang lebih dahulu masih diperdebatkan hingga sekarang.[54] Proses penyusunan daftar ini mungkin saja suatu tantangan dan dorongan atas perkembangan proto-ortodoksi; jika mereka menyangkal bahwa daftar Marsion adalah benar, maka mereka berkewajiban menentukan apa yang benar. Tahap perkembangan kanon Perjanjian Baru bisa jadi dimulai sebagai tanggapan atas usulan kanon terbatas Marsion.
Artikel utama: Fragmen Muratori |
Fragmen Muratori[55] adalah contoh paling awal yang pernah diketemukan seputar daftar yang terdefinisikan dari sebagian besar kitab Perjanjian Baru.[56] Fragmen ini terlestarikan dalam rupa suatu terjemahan Latin yang buruk, dengan kondisi telah rusak dan karenanya tidak lengkap. Tertulis bahwa fragmen ini berasal dari teks Yunani yang tidak lagi ada, yang umumnya dikatakan berasal dari akhir abad ke-2,[57][58][59][60][61][62][63][64] kendati beberapa akademisi lebih suka menyebutnya berasal dari abad ke-4.[65][66][67] Berikut ini kutipan dari terjemahan Metzger (bahasa Inggris):[68]
Hal ini merupakan bukti bahwa mungkin pada tahun 200 telah ada sekumpulan tulisan Kristen yang agak mirip dengan apa yang sekarang dikenal sebagai 27 kitab Perjanjian Baru, yang mana mencakup empat injil dan menentang keberatan-keberatan atasnya.[8]
Klemens dari Aleksandria (c. 150 – c. 215) menggunakan suatu kanon terbuka. Ia tampaknya "dapat dikatakan tidak peduli tentang kanonisitas. Baginya, yang penting adalah inspirasi (pengilhaman)."[69] Selain kitab-kitab yang tidak menjadi 27 kitab PB final tetapi diakui penerimaannya secara lokal (Barnabas, Didache, 1 Klemens, Apokalipsis Petrus, Gembala, Injil Jemaat Ibrani), ia juga menggunakan Injil Yunani Jemaat Mesir, Khotbah Petrus, Injil Matias, Ramalan Para Sibil, dan Injil Oral. Bagaimanapun ia lebih mengutamakan keempat injil gereja daripada yang lainnya, meskipun ia menjadikan mereka sebagai pelengkap bersama dengan injil-injil apokrif. Ia adalah orang pertama[butuh rujukan] yang memperlakukan surat-surat rasul selain dari Paulus (selain 2 Petrus) sebagai kitab suci —ia menerima 1 Petrus, 1–2 Yohanes, dan Yudas sebagai kitab suci.
Artikel utama: Alogi |
Ada kalangan yang menolak Injil Yohanes (mungkin juga Wahyu dan Surat-surat Yohanes) karena mereka menganggapnya tidak apostolik (atau tidak berasal dari para rasul), ditulis oleh Cerinthus (seorang Gnostik), atau tidak sesuai dengan Injil Sinoptik. Epifanius dari Salamis memberi sebutan Alogi kepada orang-orang ini karena mereka menolak doktrin Logos dari Yohanes dan ia mengklaim mereka tidak logis. Mungkin juga saat itu telah ada perdebatan tentang doktrin Parakletos.[70][71] Gaius atau Caius, seorang presbiter Roma pada awal abad ke-3, tampaknya dikaitkan dengan gerakan Alogi ini.[72]
Lihat pula: Tujuh Konsili Ekumenis Pertama |
Dalam Sejarah Gereja (c. 330), Eusebius dari Kaisarea menyebutkan kitab-kitab Perjanjian Baru menurutnya:[73][74]
Apokalipsis Yohanes, juga disebut Wahyu, diterima (terjamah Kirsopp Lake: "Diakui") sekaligus diperdebatkan, sehingga telah menyebabkan beberapa kebingungan atas apa yang sebenarnya dimaksud Eusebius. Perdebatan tersebut mungkin dikaitkan dengan Origen[75] (lihat pula Pamphili & c. 330, 3.24.17–18).[76] Pamphili & c. 330, 3.3.5 menambahkan rincian lebih lanjut mengenai Paulus: "Empat belas surat Paulus dikenal baik dan tidak perlu dipersoalkan. Memang tidak benar mengabaikan kenyataan bahwa beberapa kalangan menolak Surat kepada Orang Ibrani, yang mengatakan bahwa tulisan tersebut dipersoalkan oleh Gereja Roma, dengan alasan bahwa bukan Paulus yang menulisnya." Pamphili & c. 330, 4.29.6 menyebutkan Diatessaron: "Namun penemu aslinya, Tatian, membentuk suatu koleksi dan kombinasi tertentu dari Injil-injil, ... yang ia beri judul Diatssaron, dan yang masih ada di tangan beberapa kalangan. Tetapi mereka mengatakan bahwa ia memberanikan diri untuk mengutip perkataan tertentu sang rasul [Paulus], dalam rangka memperbaiki gaya mereka."
Artikel utama: Codex Claromontanus |
Kodeks Claromontanus[77] (c. 303–367)[78] merupakan halaman yang ditemukan sebagai sisipan dalam sebuah salinan Surat-surat Paulus dan Ibrani dari abad ke-6. Kodeks ini memuat daftar Perjanjian Lama, termasuk Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Sirakh, 1–2,4 Makabe, dan Perjanjian Baru, ditambah Kisah Paulus, Apokalipsis Petrus, Barnabas, dan Gembala Hermas, tetapi tidak ada Filipi, 1–2 Tesalonika, dan Ibrani.
Theodor Zahn dan Harnack berpendapat bahwa daftar tersebut awalnya telah disusun dalam bahasa Yunani di Aleksandria atau sekitarnya pada c. 300 M. Menurut Adolf Jülicher daftar tersebut berasal dari abad ke-4 dan mungkin berasal dari Barat.[butuh rujukan]
Artikel utama: Lima Puluh Alkitab Konstantinus |
Pada tahun 331, Kaisar Konstantinus I menugaskan Eusebius untuk mengirimkan 50 Alkitab untuk Gereja Konstantinopel. Athanasius (Apol. Const. 4) mencatat para ahli kitab dari Aleksandria sedang mempersiapkan Alkitab-Alkitab untuk Kaisar Konstans pada sekitar tahun 340. Hanya sedikit hal lainnya yang diketahui, kendati ada banyak spekulasi seputar hal tersebut. Sebagai contoh, ada dugaan bahwa hal ini mungkin mendorong adanya pendaftaran kanon, dan bahwa Kodeks Vaticanus dan Kodeks Sinaiticus merupakan beberapa contoh dari Alkitab-Alkitab ini. Bersama dengan Pesyita dan Kodeks Alexandrinus, Kodek Vaticanus dan Sinaiticus merupakan Alkitab-Alkitab Kristen paling awal yang masih ada hingga sekarang.[79]
McDonald & Sanders 2002, Appendix D-2, mencatat daftar kitab Perjanjian Baru berikut ini dari Catechetical Lectures 4.36 karya Sirilus dari Yerusalem (c. 350):
Artikel utama: Konsili Laodikia |
Konsili Laodikia (c. 363) adalah salah satu konsili pertama yang menetapkan penilaian kitab-kitab mana saja untuk dibacakan di gereja-gereja. Dekret-dekret ini dikeluarkan oleh tiga puluh klerus atau lebih yang menghadirinya, dan disebut kanon. Kanon 59 menetapkan bahwa hanya kitab-kitab kanonik yang seharusnya dibaca, tetapi tidak ada daftar yang dilampirkan dalam naskah-naskah Latin dan Siria yang mencatat dekret-dekret tersebut. Kanon 60 berisikan daftar kitab-kitab kanonik yang terkadang dikaitkan dengan Konsili Laodikia, berisikan 22 kitab PL dan 26 kitab PB (selain Wahyu); kebanyakan akademisi menganggap kanon ini merupakan penambahan di kemudian hari.[81][82]
Dalam surat Paskah yang ditulisnya pada tahun 367[83] Athanasius, Uskup Aleksandria, memberikan sebuah daftar kitab yang persis sama dengan apa yang menjadi kanon 27 kitab Perjanjian Baru,[10] dan menggunakan ungkapan "yang dikanonisasikan" (kanonizomena) berkenaan dengan kitab-kitab tersebut.[84]
Daftar Cheltenham (c. 365–90) adalah daftar berbahasa Latin yang ditemukan oleh Theodor Mommsen, seorang akademisi klasika Jerman, dalam sebuah naskah abad ke-10 (utamanya patristik) milik perpustakaan Thomas Phillips di Cheltenham, Inggris; Mommsen mempublikasikannya pada tahun 1886. Daftar tersebut mungkin berasal dari Afrika Utara pada paruh kedua abad ke-4.[85][86]
Daftar Cheltenham berisikan 24 kitab Perjanjian Lama[87] dan 24 kitab Perjanjian Baru yang memuat perhitungan baris dan suku kata tetapi tidak mencantumkan Yudas dan Yakobus, dan mungkin Ibrani, serta tampaknya mempersoalkan surat-surat Yohanes dan Petrus selain yang pertama.
McDonald & Sanders 2002, Appendix D-2, mencantumkan daftar berikut ini yang mana dikaitkan dengan Epifanius dari Salamis (c. 374–77) dari Panarion 76.5:
Pada c. 380 redaktur dari Konstitusi-konstitusi Apostolik (Constitutions of the Holy Apostles, Latin: Constitutiones Apostolorum ) menghubungkan suatu kanon dengan Keduabelas Rasul sendiri, yakni dekret ke-85 dari Kanon Para Rasul (Ecclesiastical Canons of the Same Holy Apostles, Kanon Apostolik):[88][89]
Dikatakan bahwa terjemahan Koptik dan beberapa versi Arab memuat Kitab Wahyu.[88]
Uskup Amfilokius dari Ikonium, dalam Iambics for Seleucus[90]—sebuah puisi yang dituliskan sekitar tahun 394 dan umumnya dikaitkan dengannya—membahas perdebatan seputar dimasukkannya sejumlah kitab yang seharusnya diterima, dan ia tampak tidak yakin mengenai Wahyu, Yudas, serta surat-surat Petrus dan Yohanes yang kemudian.[91]
Penugasan oleh Paus Damasus I kepada Hieronimus untuk mengerjakan Alkitab edisi Vulgata berbahasa Latin,[2] c. 383, memiliki peranan penting dalam penetapan kanon di Barat.[17] Paus Damasus I sering kali dianggap sebagai bapa dari kanon Katolik, karena apa yang dipandang sebagai daftarnya sesuai dengan kanon Katolik saat ini.[2] Apa yang disebut sebagai "daftar Damasian", yang mana sebagian kalangan mengaitkannya dengan Decretum Gelasianum,[92] dianggap merujuk pada Konsili Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus I. Daftar tersebut identik dengan apa yang kemudian dirumuskan dalam Kanon Trente,[10] dan kendati ada yang menganggap teks tersebut bukan Damasian, setidaknya dianggap sebagai suatu kompilasi yang berharga dari abad ke-6.[93][94] Daftar di bawah ini konon disahkan oleh Paus Damasus I:
Yang disebut sebagai Decretum Gelasianum de libris recipiendis et non recipiendis ini secara tradisi dikaitkan dengan Paus Gelasius I, Uskup Roma pada tahun 492–496. Bagaimanapun secara keseluruhan dokumen ini mungkin berasal dari Prancis Selatan (abad ke-6), tetapi beberapa bagiannya dapat ditelusuri ke Paus Damasus I dan mencerminkan tradisi Roma. Bagian keduanya merupakan suatu katalog kanon, dan bagian kelimanya merupakan suatu katalog tulisan apokrifa yang harus ditolak. Katalog kanon tersebut mencantumkan keseluruhan 27 kitab Perjanjian Baru Katolik.
McDonald & Sanders 2002, Appendix D-2, mencantumkan daftar kitab Perjanjian Baru menurut Hieronimus, c. 394, dari Epistle 53:
Agustinus dari Hippo menyatakan bahwa seseorang seharusnya "lebih memilih apa yang diterima oleh semua Gereja Katolik daripada apa yang tidak diterima oleh beberapa dari mereka. Di antara itu, sekali lagi, yang mana tidak diterima oleh semuanya, ia akan lebih memilih yang mendapatkan persetujuan dari jumlah yang jauh lebih banyak dan yang dari otoritas lebih tinggi, daripada yang dipegang oleh jumlah yang lebih kecil dan yang dari otoritas lebih rendah." (De doctrina christiana 2.12, bab 8).[95]
Agustinus secara efektif mendesak agar pendapatnya diterima oleh Gereja dengan mengorganisir tiga sinode/konsili terkait kanonisitas: Sinode Hippo tahun 393, Konsili Kartago tahun 397, dan satu lagi di Kartago pada tahun 419 (M 237-8). Masing-masing sinode ini menegaskan hukum Gereja yang sama: "tidak ada satu pun yang dapat dibacakan dalam gereja atas nama kitab-kitab suci ilahi" selain Perjanjian Lama (termasuk kitab-kitab Deuterokanonika) dan 27 kitab kanonik Perjanjian Baru. Tampaknya dekret-dekret ini juga dinyatakan dengan fiat (semacam pemakluman) bahwa Surat kepada Orang Ibrani dituliskan oleh Paulus, untuk mengakhiri segala perdebatan seputar subjek tersebut.
Konsili pertama yang menerima kanon saat ini dari kitab-kitab Perjanjian Baru mungkin adalah Sinode Hippo Regius di Afrika Utara (tahun 393). Rangkuman singkat tentang riwayat konsili tersebut dibacakan dan diterima oleh Konsili Kartago pada tahun 397 dan 419.[12] Konsili-konsili ini diselenggarakan di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang mana menganggap kanon telah ditutup sejak saat itu.[13][14][15] Kanon Afrika Utara ini ditegaskan kembali di Konsili Trente tahun 1546.[2][3]
Pada tahun 405 Paus Innosensius I menuliskan daftar kitab suci dalam suratnya kepada Eksuperius, seorang uskup dari Toulouse,[96] yang mana memuat daftar kitab kanonik yang identik dengan Kanon Trente.[97][98][99] Surat tersebut menyatakan "empat belas" Surat Paulus, namun F.F. Bruce lebih suka menganggapnya "tiga belas" dengan mengeluarkan Surat Ibrani.[96] Menurut Catholic Encyclopedia, setelah pergantian abad ke-5, Gereja Barat di bawah kepemimpinan Paus Innosensius I menerima suatu kanon Alkitab yang meliputi keempat Injil dari Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, yang mana sebelumnya telah ditetapkan pada sejumlah sinode regional yaitu Konsili Roma (382), Sinode Hippo (393), dan dua Konsili Kartago (397 dan 419).[2]
Lihat pula: Kekristenan Timur |
Gereja-gereja Timur secara umum memiliki firasat yang lebih lemah dibandingkan dengan Barat berkenaan dengan kebutuhan untuk membuat suatu gambaran yang jelas terkait kanon Alkitab. Mereka lebih sadar akan adanya tingkatan kualitas rohaniah di antara kitab-kitab yang mereka terima (misalnya klasifikasi dari Eusebius; lihat pula Antilegomena) dan lebih jarang menegaskan bahwa kitab-kitab yang mereka tolak tidak memiliki kualitas rohaniah sama sekali.[butuh rujukan] Demikian pula dalam kanon-kanon Perjanjian Baru dari Gereja Siria, Armenia, Georgia, Koptik Mesir, dan Ethiopia terdapat sedikit perbedaan antara satu dengan yang lainnya.[100][halaman dibutuhkan] Wahyu kepada Yohanes dikatakan sebagai salah satu kitab yang paling tidak pasti; di Timur, khiliasme dan Montanisme membuatnya dicurigai;[101] kitab tersebut tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Georgia sampai dengan abad ke-10, dan tidak pernah dimasukkan dalam leksionari resmi Gereja Ortodoks Timur sejak zaman Bizantium hingga saat ini. Namun demikian status kanoniknya diakui.[102]
Lihat pula: Reformasi Protestan |
Encyclopedia of Theology mengatakan bahwa 27 kitab yang membentuk kanon Perjanjian Lama dari Kitab Suci tidak didasarkan pada suatu daftar Alkitabiah yang mengotentikasinya sebagai terilhami atau terinspirasi, sehingga legitimasi kitab-kitab tersebut dipandang mustahil untuk dibeda-bedakan dengan pasti tanpa peranan sumber infalibel (yang tidak dapat salah) lainnya, seperti Magisterium dari Gereja Katolik yang pertama kali berkumpul dan mengkonfirmasi daftar ini dalam Konsili Roma.[103] Katolikisme menganggap Magisterium, yakni kewenangan mengajar, memiliki posisi yang setara dan saling terkait dengan Tradisi Suci dan Kitab Suci, yang mana masing-masing bertindak dengan caranya sendiri demi kebaikan Gereja.[104] Karena menolak hal-hal ini, para reformator Protestan berfokus pada doktrin sola scriptura, yaitu otoritas tertinggi pada Kitab Suci saja. Sola scriptura adalah salah satu dari kelima sola yang dipandang oleh beberapa kelompok Protestan sebagai pilar teologis dari Reformasi Protestan.[105]
Artikel utama: Kanon Luther |
Martin Luther merasa terganggu dengan empat kitab, yang disebut sebagai Antilegomena Luther: Yudas, Yakobus, Ibrani, dan Wahyu; dan kendati Luther menempatkannya dalam posisi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kitab lainnya, ia tidak mengeluarkannya. Ia mengusulkan untuk mengeluarkan kitab-kitab tersebut dari kanon, dengan menyinggung dukungan dari beberapa umat Katolik seperti Kardinal Thomas Cajetan dan Desiderius Erasmus, serta sebagian lagi karena kitab-kitab tersebut dianggap bertentangan dengan doktrin-doktrin Protestan seperti sola gratia dan sola fide, tetapi hal ini tidak diterima secara umum di antara para pengikutnya. Namun demikian kitab-kitab ini tetap ditaruh dalam urutan terakhir di Alkitab Luther berbahasa Jerman hingga saat ini.[106][107]
Di antara pengakuan-pengakuan iman yang disusun oleh kalangan Protestan, beberapa mengidentifikasi 27 kitab dari kanon Perjanjian Baru, misalnya Pengakuan Iman Prancis (1559), Pengakuan Belgia (1561), dan Pengakuan Iman Westminster (1647) pada saat Perang Saudara Inggris. 39 Artikel yang dikeluarkan oleh Gereja Inggris pada tahun 1563 menyebutkan kitab-kitab Perjanjian Lama, tetapi tidak mencantumkan Perjanjian Baru. Tidak ada satu pun pernyataan Pengakuan yang dikeluarkan oleh Gereja Lutheran mana pun yang memuat suatu daftar eksplisit terkait kitab-kitab kanonik.
Lihat pula: Reformasi Katolik |
Artikel utama: Kanon Trente |
Konsili Trente pada tanggal 8 April 1546 menyetujui pemberlakuan Kanon Alkitab Katolik Roma sebagaimana adanya saat ini, yang memuat Kitab-kitab Deuterokanonika, sebagai sebuah tulisan keimanan (isi kanon itu sendiri telah ditegaskan kembali secara aklamasi), dan keputusan ini dikonfirmasi dengan anatema melalui pemungutan suara (24 setuju, 15 tidak, 16 abstain).[108] Kanon Trente dikatakan berisi daftar yang sama seperti yang dihasilkan dalam Konsili Florence (Sesi 11, tanggal 4 Februari 1442),[109] Konsili Kartago tahun 397-419,[3] dan mungkin Konsili Roma tahun 382.[10][110] Saat itu daftar tersebut tidak dianggap mengikat bagi Gereja Katolik, dan karena tuntutan Martin Luther, Gereja Katolik mengkaji ulang kanon tersebut pada Konsili Trente, yang mana kemudian menegaskan kembali kanon dari konsili-konsili sebelumnya dan menambahkan klausul anatema terhadap segala upaya untuk mengubah isi kanon tersebut.
Konsili Vatikan I pada tanggal 24 April 1870 mengesahkan penambahan pada Injil Markus (v. 16:9–20), Lukas (22:19b–20, 43–44), dan Yohanes (7:53–8:11), yang mana tidak terdapat dalam naskah-naskah awal tetapi dimuat dalam Vulgata.[111]
Paus (Katolik Roma) Pius XI pada tanggal 2 Juni 1927 memutuskan bahwa Comma Johanneum dalam Perjanjian Baru menjadi terbuka untuk diperdebatkan.
Paus Pius XII pada tanggal 3 September 1943 mengeluarkan ensiklik Divino afflante Spiritu, yang mana mengizikan penerjemahan Alkitab atas dasar teks-teks selain Vulgata berbahasa Latin.
Artikel utama: Sinode Yerusalem (1672) |
Lihat pula: Perkembangan kanon Perjanjian Lama § Kanon Ortodoks Timur |
Sinode Yerusalem pada tahun 1672 menetapkan Kanon Ortodoks Timur, serupa dengan yang diputuskan oleh Konsili Trente. Mereka "menyebutnya Kitab Suci semua kitab yang dikumpulkan Cyril dari Sinode Laodikia, dan memperhitungkan, menambahkan pada Kitab Suci kitab-kitab yang dengan bodoh dan bebalnya, atau lebih tepatnya berbahaya, ia sebut Apokrifa; secara spesifik, [Daftar kitab-kitab deuterokanonika...]."[112]
(1) Koleksi Marsion yang diawali dengan Galatia dan diakhiri dengan Filemon; (2) Papirus 46, bertarikh sekitar tahun 200, yang mana mengikuti urutan yang ditetapkan kelak selain menukar Efesus dan Galatia; (3) surat-surat kepada tujuh gereja, yang memperlakukan surat-surat tersebut sebagai gereja yang sama dalam rupa satu surat dan mendasarkan urutannya menurut panjangnya, sehingga Korintus adalah yang pertama dan Kolose (mungkin termasuk Filemon) yang terakhir.
At this point [Gal 6:11] the apostle takes the pen from his amanuensis, and the concluding paragraph is written with his own hand. From the time when letters began to be forged in his name (2 Thess 2:2, 3:17) it seems to have been his practice to close with a few words in his own handwriting, as a precaution against such forgeries... In the present case he writes a whole paragraph, summing up the main lessons of the epistle in terse, eager, disjointed sentences. He writes it, too, in large, bold characters (Gr. pelikois grammasin), that his hand-writing may reflect the energy and determination of his soul.
The complete books of the old and the new Testament with all their parts, as they are listed in the decree of the said council and as they are found in the old Latin Vulgate edition, are to be received as sacred and canonical.In the context, the "decree of the said Council" is the decree of the Council of Trent defining the canon of the Scriptures.