Bagian dari seri |
Alkitab |
---|
Kanon Alkitab dan kitab-kitabnya |
Tanakh (Taurat · Nevi'im · Ketuvim) Kanon Alkitab Kristen · Alkitab Ibrani Perjanjian Lama (PL) · Perjanjian Baru (PB) Deuterokanonika · Antilegomena Bab dan ayat dalam Alkitab Apokrifa: (Yahudi · PL · PB) |
Perkembangan dan Penulisan |
Terjemahan dan Naskah |
Taurat Samaria Gulungan Laut Mati Teks Masorah Targum · Pesyita Septuaginta · Vulgata Alkitab Goth · Vetus Latina Alkitab Luther · Alkitab Inggris · Alkitab Indonesia |
Studi |
Kode Alkitab Novum Testamentum Graece Hipotesis dokumen Kategori PB Konsistensi internal Arkeologi · Artefak |
Tafsir |
Hermeneutika · Pesyer · Midras · Pardes · Penafsiran alegori Alkitab · Literalisme · Nubuat · Homoseksualitas |
Daftar dan Garis besar topik |
Artefak · Nama · Tokoh |
Perjanjian Lama adalah bagian pertama dari dua bagian kanon Alkitab Kristen, yang mana mencakup kitab-kitab dari Alkitab Ibrani atau protokanonika, dan dalam berbagai denominasi Kristen juga mencakup kitab-kitab deuterokanonika. Kekristenan Timur, Katolik, dan Protestan menggunakan kanon-kanon yang berbeda, yang mana perbedaannya sehubungan dengan teks-teks yang termasuk dalam Perjanjian Lama tersebut dan antilegomena dari Perjanjian Baru.
Martin Luther, dengan berpegang pada kaum Yahudi dan beberapa kalangan Kristen awal,[1] mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dari Perjanjian Lama pada hasil terjemahan Alkitab yang dibuatnya dan menempatkannya pada satu bagian terpisah yang diberi judul "Apokrifa" ("tersembunyi"), sehingga berbeda dengan kanon yang ditegaskan di Trente pada tahun yang sama dengan tahun meninggalnya Luther (1546).[2] Dengan mengikuti prinsip veritas Hebraica (kebenaran Ibrani) dari Hieronimus, Perjanjian Lama Protestan meliputi kitab-kitab yang sama dengan Alkitab Ibrani, tetapi urutan dan pembagiannya berbeda. Perjanjian Lama Protestan memuat 39 kitab, sedangkan Yudaisme memuat kitab-kitab yang sama dengan jumlah 24 kitab. Hal ini dikarenakan Yudaisme memandang Kitab Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, masing-masingnya adalah satu kitab, 12 nabi kecil tergabung dalam satu kitab, serta memandang Ezra dan Nehemia sebagai satu kitab.
Ada perbedaan yang lebih substansial antara Alkitab Ibrani dengan berbagai versi Perjanjian Lama lainnya seperti Taurat Samaria, Pesyita Suryani, Vulgata Latin, Septuaginta Yunani, Alkitab Ethiopia, dan kanon lainnya. Banyak dari Alkitab-Alkitab ini yang mencakup berbagai kitab dan bagian yang tidak ada pada yang lainnya.
Artikel utama: Perkembangan kanon Alkitab Ibrani dan Kanon Alkitab § Kanon Yahudi |
Yudaisme Rabinik mengakui 24 kitab dari Teks Masoret, yang umumnya disebut Tanakh atau Alkitab Ibrani.[3] Tidak ada konsensus keilmuan mengenai kapan kanon Alkitab Ibrani ditetapkan; beberapa akademisi berpendapat bahwa kanon tersebut ditetapkan oleh dinasti Hashmonayim,[4] sementara lainnya berpendapat bahwa tidak ada penetapan hingga abad ke-2 M atau bahkan setelahnya.[5] Menurut Marc Zvi Brettler, kitab-kitab suci Yahudi selain Taurat dan para Nabi tidaklah tetap, karena masing-masing kelompok yang berbeda melihat kewibawaan dalam kitab-kitab yang berbeda.[6]
Michael Barber mengatakan bahwa kesaksian yang paling eksplisit dan paling awal akan suatu daftar kanonik Ibrani berasal dari Yosefus (37 M – c. 100 M), seorang sejarawan Yahudi.[7] Yosefus menuliskan mengenai suatu kanon yang digunakan kaum Yahudi pada abad ke-1 M. Dalam Melawan Apion (Buku 1, Paragraf 8), sebuah tulisan Yosefus pada tahun 95 M, ia membagi kitab-kitab suci menjadi tiga bagian, yakni 5 kitab Taurat, 13 kitab para nabi, dan 4 kitab himne:[8]
Yosefus menyebutkan Esdras dan Nehemia dalam Antikuitas Orang Yahudi (Buku XI, Bab 5) serta Ester (selama pemerintahan Artahsasta) dalam Bab 6.[9] Kanon tersebut ada sampai dengan pemerintahan Artahsasta sebagaimana disebutkan oleh Yosefus di atas dalam Melawan Apion Buku 1, Paragraf 8. Untuk waktu yang lama, sejak saat itu, kewibawaan atas Kitab Ester, Kidung Agung, dan Pengkhotbah sering kali dikritik tajam.[10] Menurut Gerald Larue, daftar Yosefus mencerminkan apa yang kemudian menjadi kanon Yahudi, meskipun para akademisi masih bergumul dengan masalah-masalah seputar kewibawaan atau otoritas tulisan tertentu pada waktu ia menuliskannya.[11] Barber mengatakan bahwa 22 kitab yang disebutkan Yosefus itu tidak diterima secara universal, sebab komunitas-komunitas Yahudi lainnya menggunakan lebih dari 22 kitab.[7]
Pada tahun 1871, Heinrich Graetz menyimpulkan bahwa telah berlangsung Konsili Yamnia (atau Yavne dalam bahasa Ibrani) yang telah menetapkan kanon Yahudi pada akhir abad ke-1 (c. 70–90). Teori ini menjadi konsensus keilmuan yang berlaku pada hampir sepanjang abad ke-20. Tetapi teori tentang adanya Konsili Yamnia ini sekarang didiskreditkan secara luas.[12][13][14][15]
Lihat pula: Apokrifa Alkitab, Protokanonika, dan Deuterokanonika |
Kanon Katolik Roma dan Gereja-gereja Timur mencakup kitab-kitab yang disebut deuterokanonika, yang mana kewibawaannya ditentang oleh Akiba ben Yusuf selama perkembangan kanon Ibrani pada abad pertama; meskipun Akiba sendiri tidak menentang penggunaan pribadi kitab-kitab tersebut sebagaimana ia sendiri sering menggunakan Kitab Sirakh.[16] Salah satu catatan awal tentang kitab-kitab deuterokanonika ditemukan dalam Septuaginta, suatu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani Koine. Terjemahan ini digunakan secara luas oleh Gereja perdana dan merupakan salah satu terjemahan yang paling sering dikutip (300 dari 350 kutipan termasuk banyak dari perkataan Yesus sendiri) dalam Perjanjian Baru ketika merujuk Perjanjian Lama. Yang lainnya, berupa versi-versi yang lebih tua dari teks-teks berbahasa Ibrani, Aramaik, dan Yunani, telah ditemukan di antara gulungan-gulungan Naskah Laut Mati dan Geniza Kairo.[17]
Secara tradisi, penjelasan atas perkembangan kanon Perjanjian Lama menggambarkan dua kumpulan kitab-kitab Perjanjian Lama, yakni kitab-kitab protokanonika dan deuterokanonika. Berdasarkan hal ini, sebagian Bapa Gereja menerima dimasukkannya kitab-kitab deuterokanonika dengan didasarkan atas dimasukkannya kitab-kitab tersebut dalam Septuaginta (terutama Agustinus), sementara yang lainnya memperdebatkan statusnya didasarkan atas dikeluarkannya kitab-kitab tersebut dari Alkitab Ibrani (terutama Hieronimus). Michael Barber berpendapat bahwa rekonstruksi menurut waktu seperti ini sangat tidak akurat dan "kasus terhadap apokrifa tersebut terlalu dibesar-besarkan".[18] Agustinus sekadar menginginkan sebuah versi baru dari Alkitab Latin berdasarkan teks Yunani karena pada saat itu Septuaginta digunakan secara luas di seluruh Gereja dan proses penerjemahan tidak dapat mengandalkan seseorang saja (Hieronimus) yang mana bisa saja keliru; pada kenyataannya, sebagaimana dinyatakannya dalam Kota Allah 18.44, ia memandang bahwa Alkitab Ibrani dan Septuaginta memiliki kewibawaan yang setara.[19] Bagi kebanyakan umat Kristen perdana, Alkitab Ibrani merupakan "Kitab Suci" tetapi harus dipahami dan ditafsirkan dalam terang keyakinan Kekristenan.[20]
Meskipun kitab-kitab deuterokanonika direferensikan oleh sebagian Bapa Gereja sebagai Kitab Suci, kalangan lainnya seperti Athanasius menyatakan bahwa kitab-kitab tersebut hanya untuk dibaca dan tidak untuk menetapkan doktrin.[21] Athanasius memasukkan Kitab Barukh dan Surat Nabi Yeremia ke dalam daftarnya, serta mengeluarkan Kitab Ester.[22] Menurut Catholic Encyclopedia, "status lebih rendah yang dikenakan pada kitab-kitab deuterokanonika oleh pihak otoritas seperti Origen, Athanasius, dan Hieronimus, adalah karena konsepsi kanonisitas yang terlalu kaku; suatu kitab, untuk dapat memperoleh martabat tertinggi ini, harus diterima oleh semua pihak, harus tidak ada kesangsian seturut sejarah kuno Yahudi, dan terlebih lagi harus dapat diadaptasikan tidak sekadar untuk pembangunan rohani, tetapi juga untuk 'penegasan doktrin gereja', jika meminjam ungkapan Hieronimus."[23]
Mengikuti jejak Martin Luther, kalangan Protestan memandang kitab-kitab deuterokanonika sebagai apokrifa (non-kanonik). Menurut J. N. D. Kelly, "Perlu diperhatikan bahwa Perjanjian Lama dengan demikian diakui otoritasnya dalam Gereja... selalu menyertakan, meskipun dengan berbagai tingkat pengakuan, apa yang disebut kitab-kitab deuterokanonika atau Apokrifa."[24]
Artikel utama: Septuaginta |
Gereja Kristen Awal menggunakan teks-teks Yunani,[25] karena bahasa Yunani merupakan suatu lingua franca (bahasa sehari-hari) dalam Kekaisaran Romawi pada saat tersebut, dan bahasa dari Gereja Yunani-Romawi (Aramaik merupakan bahasa dari Kekristenan Siria, yang mana menggunakan Targumim).
Tampaknya Septuaginta menjadi satu sumber utama bagi para Rasul, walaupun bukan satu-satunya. St Hieronimus menyajikan Matius 2:15 dan 2:23, Yohanes 19:37, Yohanes 7:38, 1 Korintus 2:9[26] sebagai contoh-contoh ayat yang tidak ditemukan dalam Septuaginta, namun terdapat dalam teks-teks Ibrani. Matius 2:23 juga tidak terdapat dalam tradisi Masoretik saat ini, kendati St. Hieronimus menganggapnya terdapat dalam Yesaya 11:1. Para penulis Perjanjian Baru, ketika mengutip kitab-kitab suci Yahudi, atau ketika menyebut Yesus melakukannya, dengan bebas menggunakan terjemahan Yunani, sehingga mengisyaratkan bahwa Yesus, para Rasul-Nya, dan pengikut-pengikut mereka menganggapnya dapat diandalkan.[27][28]
Dalam Gereja perdana, anggapan bahwa Septuaginta (LXX) diterjemahkan oleh orang-orang Yahudi sebelum zaman Kristus, dan bahwa di beberapa tempat tertentu Septuaginta lebih memberikan suatu penafsiran kristologis daripada teks-teks Ibrani abad ke-2, digunakan sebagai bukti bahwa orang-orang Yahudi telah mengubah teks Ibrani dengan suatu cara tertentu sehingga membuatnya kurang kristologis. Sebagai contoh, tulisan St. Ireneus tentang Yesaya 7:14: Septuaginta dengan jelas menuliskan bahwa seorang perawan (Yunani: παρθένος) yang akan mengandung.[29] Sedangkan teks Ibraninya, menurut Ireneus, pada waktu itu ditafsirkan oleh Theodotion dan Akwila (keduanya adalah proselit dari agama Yahudi) sebagai seorang perempuan muda yang akan mengandung. Menurut Ireneus, kaum Ebionit menggunakan hal ini untuk mengklaim bahwa Yusuf adalah ayah biologis Yesus. Dari sudut pandangnya hal tersebut murni ajaran sesat, difasilitasi oleh perubahan-perubahan anti Kristen (di kemudian hari) terhadap kitab suci dalam bahasa Ibrani, sebagaimana terlihat pada bukti yang termuat dalam Septuaginta yang lebih dahulu ada, sebelum adanya Kekristenan.[30]
Ketika Hieronimus melakukan revisi terjemahan-terjemahan Latin Kuno (Vetus Latina) dari Septuaginta, ia membandingkan Septuaginta dengan teks-teks Ibrani yang tersedia belakangan. Ia tidak mengikuti tradisi gereja dan menerjemahkan sebagian besar Perjanjian Lama Vulgata dari teks Ibrani, bukannya Yunani. Pilihannya itu dikritik oleh Agustinus, yang hidup sezaman dengannya; banyak kritikan lain berasal dari mereka yang menganggap Hieronimus sebagai seorang pemalsu. Di satu sisi ia menganggap teks-teks Ibrani lebih unggul untuk mengoreksi Septuaginta baik dengan alasan teologis maupun filologis; di sisi lain, dalam konteks tuduhan bidah terhadapnya, Hieronimus mengakui teks Septuaginta juga.[31]
Gereja Ortodoks Timur masih lebih suka menggunakan LXX sebagai dasar penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa-bahasa lain. Selain itu, Ortodoks Timur juga menggunakan LXX tanpa diterjemahkan sama sekali pada Gereja di mana bahasa liturgisnya adalah Yunani, misalnya dalam Gereja Ortodoks Konstantinopel, Gereja Yunani, dan Gereja Siprus. Terjemahan-terjemahan kritis dari Perjanjian Lama, jika Teks Masoret digunakan sebagai dasar penerjemahan, tetap menggunakan Septuaginta — serta versi-versi lainnya — sebagai rujukan untuk merekonstruksi makna dari teks Ibrani yang tidak jelas, korup, atau membingungkan.[32] Sebagai contoh, Kata Pengantar Alkitab Yerusalem Baru menuliskan, "Hanya jika [Teks Masoret] ini menyajikan kesulitan-kesulitan tak teratasi tanpa memiliki perbaikan atau versi lainnya, seperti ..., LXX digunakan."[33] Kata Pengantar Penerjemah dari New International Version menuliskan: "Para penerjemah menelusuri versi-versi awal yang lebih penting (termasuk) Septuaginta ... Bacaan-bacaan dari versi-versi ini adakalanya diikuti jika MT tampak meragukan ..."[34]
Lihat pula: Codex Hierosolymitanus |
Referensi paling awal seputar kanon Kristen kemungkinan adalah Daftar Bryennios yang ditemukan oleh Philotheos Bryennios dalam Kodeks Hierosolymitanus di perpustakaan biara Gereja Makam Kudus pada tahun 1873. Daftar tersebut ditulis dalam bahasa Yunani Koine (dengan transkripsi dari bahasa Ibrani dan/atau Aramaik), dan pada tahun 1950[35] Jean-Paul Audet menyatakan tarikhnya abad ke-1 atau ke-2.[36] Audet mendaftar 27 kitab darinya:[36]
"Yesus Nave" adalah nama lama dari Kitab Yosua. "2 kitab Esdras" dapat berarti 1 Esdras dan Ezra–Nehemia sebagaimana dalam Septuaginta, atau Ezra dan Nehemia sebagaimana dalam Vulgata. Menurut Albert Sundberg, angka 27 merupakan jumlah kitab yang tidak lazim dan tidak diketahui dalam daftar-daftar kitab Yahudi; dan R.T. Beckwith menegaskan bahwa daftar Bryennios "mencampur para Nabi dan Hagiografa secara bersama-sama tanpa pandang bulu, maka tentunya ini berasal dari penulis Kristen, bukan Yahudi, dan karena penggunaan Aramaik terus berlanjut selama berabad-abad dalam gereja Palestina, tidak ada alasan untuk membuat tarikh yang sedemikian awal (abad ke-1 atau ke-2 M)."[35]
Marsion dari Sinope merupakan seorang pemimpin Kristen pertama dalam catatan sejarah (meski kemudian dipandang sesat) yang mengusulkan dan mengutarakan suatu kanon Kristen yang unik (c. 140 M).[37] Ia secara eksplisit menolak Perjanjian Lama dan mengajukan Perjanjian Baru versinya agar menjadi kanon Kristen.[11][38] Ireneus menuliskan tentang dirinya:
Dengan perspektif yang berbeda, Tertullian mengatakan:
Everett Ferguson, dalam The Canon Debate bab 18, membuat catatan: "[Wolfram] Kinzim mengemukakan bahwa Marsion adalah orang yang biasa menyebut Alkitabnya testamentum [bahasa Latin untuk testament, perjanjian]".[38] Dalam bab yang sama, Ferguson juga mengatakan bahwa Tertullian mengkritik Marsion mengenai penamaan kitab-kitab dalam daftarnya.[38] Menurut Catholic Encyclopedia, kaum Marsionit "kemungkinan adalah musuh paling berbahaya yang pernah dikenal Kekristenan".[39]
Para akademisi lainnya mengemukakan bahwa Melito dari Sardis yang pada mulanya menciptakan istilah "Perjanjian Lama",[40] yang mana dikaitkan dengan Supersesionisme.
Daftar kitab-kitab Perjanjian Lama pertama yang dihimpun oleh suatu sumber Kekristenan dicatat oleh Eusebius, seorang sejarawan abad ke-4. Eusebius mendeskripsikan koleksi dari seorang uskup pada abad ke-2, Melito dari Sardis.[41] Daftarnya Melito, bertarikh c. 170, hasil dari perjalanan ke Tanah Suci (kemungkinan perpustakaan terkenal di Kaisarea Maritima) untuk menentukan baik urutan maupun penomoran kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani, tampaknya bukan untuk mengikuti urutan kitab-kitab yang disajikan dalam Septuaginta. Daftar Melito, sebagaimana dikuti oleh Eusebius, adalah:
Menurut Archibald Alexander, daftar Melito dianggap oleh banyak kalangan memasukkan Kitab Kebijaksanaan, yang mana merupakan bagian dari Deuterokanon, tetapi diperdebatkan oleh kalangan lainnya.[42] Kitab Ester tidak tampak dalam daftar tersebut.
Eusebius juga mencatat 22 kitab kanonik orang-orang Ibrani yang diberikan oleh Origen dari Aleksandria:[43]
Daftarnya Origen tidak termasuk Dua Belas Nabi Kecil, tampaknya bukan suatu kesengajaan; tetapi memasukkan Surat Nabi Yeremia (mungkin merujuk Barukh sebagai lampiran Yeremia) dan Makabe, yang mana terdapat perdebatan terkait apakah ia menganggap Makabe kanonik atau tidak.[44][45]
Artikel utama: Lima Puluh Alkitab Konstantinus |
Pada tahun 331, Kaisar Konstantinus I menugaskan Eusebius untuk mengirimkan 50 Alkitab untuk Gereja Konstantinopel. Athanasius (Apol. Const. 4) mencatat para ahli kitab dari Aleksandria sedang mempersiapkan Alkitab-Alkitab untuk Kaisar Konstans pada sekitar tahun 340. Hanya sedikit hal lainnya yang diketahui, kendati ada banyak spekulasi seputar hal tersebut. Sebagai contoh, ada dugaan bahwa hal ini mungkin mendorong adanya pendaftaran kanon, dan bahwa Kodeks Vaticanus dan Kodeks Sinaiticus merupakan beberapa contoh dari Alkitab-Alkitab ini. Kodeks-kodeks tersebut nyaris merupakan versi lengkap dari Septuaginta; Vaticanus hanya kekurangan 1–3 Makabe dan Sinaiticus tidak mencakup 2–3 Makabe, 1 Esdras, Barukh, dan Surat Nabi Yeremia.[46]
Bersama dengan Pesyita dan Kodeks Alexandrinus, Kodek Vaticanus dan Sinaiticus merupakan Alkitab-Alkitab Kristen paling awal yang masih ada hingga sekarang.[47] Tidak ditemukan bukti dalam kanon-kanon Konsili Nicea Pertama mengenai adanya suatu penetapan kanon Alkitab; namun Hieronimus (347–420), dalam Prologue to Judith, mengklaim bahwa Kitab Yudit "ditetapkan oleh Konsili Nicea untuk dimasukkan dalam keseluruhan Kitab Suci".[48]
Konsili Roma tahun 382 di bawah otoritas Paus Damasus I, di mana Decretum Gelasianum dianggap berkaitan dengan konsili ini, mengeluarkan sebuah kanon Alkitab yang identik dengan daftar yang dikeluarkan di Trente,[49][50] atau, jika tidak, daftar tersebut sekurang-kurangnya merupakan kompilasi dari abad ke-6[51] yang diklaim telah memperoleh imprimatur pada abad ke-4.[52] Ia mendorong sekretaris pribadinya, Hieronimus, untuk melakukan penerjemahan Alkitab yang kemudian dikenal sebagai Vulgata. Penugasan oleh Paus Damasus I untuk mengerjakan Alkitab edisi Vulgata berbahasa Latin memiliki peranan penting dalam penetapan kanon di Barat.[53] Daftar di bawah ini diduga disahkan oleh Paus Damasus I: (hanya ditampilkan bagian Perjanjian Lama)
Kedua kitab Esdras merujuk pada Kitab Ezra dan Kitab Nehemia sebagaimana adanya dalam satu kitab (‘Ezrā) di Alkitab Ibrani; Hieronimus, dalam Kata Pengantar Kitab Samuel dan Raja-raja, menjelaskan bahwa "untuk kelompok ketiga dalam Hagiografa, yang mana kitab pertama dimulai dengan Ayub, ... yang kedelapan, Ezra, yang mana juga dibagi menjadi dua kitab di kalangan Yunani dan Latin; yang kesembilan adalah Ester."[56]
Dalam prolog-prolog Vulgata, Hieronimus memberikan argumentasi tentang prinsip veritas Hebraica, yang berarti kebenaran dari teks Ibrani atas terjemahan Latin Kuno dan Septuaginta. Perjanjian Lama Vulgata mencakup kitab-kitab di luar Alkitab Ibrani, diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Aramaik, atau berasal dari Latin Kuno. Kata Pengantar Kitab Samuel dan Raja-raja memuat pernyataan berikut yang umumnya disebut Helmeted Preface (Kata Pengantar Berketopong):[56]
Atas permintaan dua orang uskup,[57] ia membuat penerjemahan Tobit dan Yudit dari teks-teks Ibrani,[58] yang mana ia jelaskan dalam prolognya apa yang ia anggap sebagai apokrifa. Tetapi dalam prolog kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, ia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai kitab suci oleh Konsili Nicea I.[59] Dalam jawabannya kepada Rufinus, Hieronimus menegaskan bahwa ia selaras dengan pilihan Gereja perihal versi mana dari bagian-bagian deuterokanonika Daniel yang digunakan, yang mana kaum Yahudi pada masa itu tidak menyertakannya:
Michael Barber menegaskan bahwa, meskipun Hieronimus pernah curiga terhadap "apokifa" tersebut, ia kemudian memandangnya sebagai Kitab Suci. Barber berpendapat bahwa hal ini jelas terlihat dari berbagai surat yang ditulis Hieronimus. Sebagai contoh, ia mengutip surat Hieronimus kepada Eustochium, di mana Hieronimus mengutip Sirakh 13:2.[18] Di bagian lainnya Hieronimus juga merujuk Barukh, Kisah Susana, dan Kebijaksanaan sebagai kitab suci.[61][62][63]
Lihat pula: Sinode Hippo dan Konsili Kartago |
Sinode Hippo (tahun 393), yang kemudian disusul dengan Konsili Kartago (tahun 397 dan 419), mungkin merupakan konsili pertama yang secara eksplisit menerima kanon yang mencakup kitab-kitab yang tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani;[64] konsili-konsili tersebut berada di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang menganggap seolah-olah kanon telah ditutup sejak saat itu.[65][66][67]
Kanon xxxvi dari Sinode Hippo tahun 393 mencatat kitab-kitab suci yang dianggap kanonik; kitab-kitab Perjanjian Lama yang termasuk di dalamnya yaitu:[68]
Pada tanggal 28 Agustus 397, Konsili Kartago mengkonfirmasi kanon yang dikeluarkan di Hippo; pengulangan bagian Perjanjian Lama tersebut yaitu:[69]
Mengenai kedua kitab Ezra/Esdras, Agustinus dari Hippo menjelaskan hubungan antara kedua kitab tersebut dan pemisahannya dengan Kitab Tawarikh (beberapa bab termasuk dalam 1 Esdras di Septuaginta): "... dan kedua kitab Ezra, yang mana pada akhirnya terlihat lebih seperti suatu sekuel sejarah umum yang berkelanjutan, yang mengakhiri Kitab Raja-raja dan Tawarikh."[70] Kelima kitab Salomo mengacu pada Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, dan Sirakh (Eklesiastikus).[71]
Menurut Catholic Encyclopedia, kanon dari konsili-konsili tersebut sesuai dengan kanon Katolik Roma saat ini.[72] Philip Schaff mengatakan bahwa "Konsili Hippo pada tahun 393, dan Konsili Kartago yang ketiga (yang keenam menurut perhitungan lain) pada tahun 397, di bawah pengaruh Agustinus yang mana menghadiri keduanya, menetapkan kanon Kitab Suci Katolik, termasuk Apokrifa Perjanjian Lama, ... Bagaimanapun keputusan ini tunduk pada ratifikasi gereja seberang lautan (Roma); dan persetujuan dari Tahta Roma yang diterimanya pada masa Innosensius I dan Gelasius I (414 M) mengulangi daftar kitab-kitab biblika yang sama. Kanon ini tetap tak terganggu sampai abad ke-16, dan disetujui oleh Konsili Trente pada sesi keempat."[73]
Lihat pula: Konsili Quinisextum dan Kanon Para Rasul |
Konsili Quinisextum tahun 691–692, yang mana ditolak oleh Paus Sergius I[74] (lihat pula Pentarki), mengesahkan kanonisitas daftar-daftar tulisan berikut ini: Kanon Para Rasul (c. 385), Konsili Laodikia (c. 363), Konsili Kartago yang Ketiga (c. 397), dan Surat Paskah Athanasius yang ke-39 (367).[75] Kanon Para Rasul (atau Ecclesiastical Canons of the Same Holy Apostles, Kanon Apostolik) adalah sekumpulan dekret gerejawi kuno sehubungan dengan disiplin dan tata kelola Gereja perdana, yang pada mulanya ditemukan sebagai bab terakhir dari buku kedelapan Konstitusi-konstitusi Apostolik (Constitutions of the Holy Apostles, bahasa Latin: Constitutiones Apostolorum).[76]
Kanon n. 85 dari Kanon Para Rasul menyajikan suatu daftar kitab-kitab kanonik,[77] termasuk 46 kitab dari kanon Perjanjian Lama yang pada dasarnya sesuai dengan yang terdapat dalam Septuaginta. Bagian Perjanjian Lama dari Kanon n. 85 dinyatakan sebagai berikut:[78]
Karl Josef von Hefele berpendapat bahwa "Ini mungkin merupakan kanon yang paling kuno di dalam keseluruhan koleksi";[78] bahkan ia dan William Beveridge meyakini bahwa tulisan-tulisan dari Kanon Para Rasul bertarikh akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3, sedangkan kalangan lainnya sepakat bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak mungkin disusun sebelum Sinode Antiokhia tahun 341 atau penghujung akhir abad ke-4.[76][79]
Lihat pula: Reformasi Protestan dan Reformasi Katolik |
Salah satu prinsip dari Reformasi Protestan (dimulai pada c. 1517) adalah bahwa penerjemahan kitab suci harus didasarkan pada teks-teks aslinya (yakni bahasa Ibrani Biblika dan Aramaik Biblika untuk Perjanjian Lama, serta bahasa Yunani Biblika untuk Perjanjian Baru) bukannya pada terjemahan Hieronimus ke dalam bahasa Latin, yang pada saat tersebut merupakan Alkitab dari Gereja Katolik.
Para reformator memandang Apokrifa berbeda dengan isi yang lainnya dari Kitab Suci. Gereja Katolik Roma menggunakannya untuk mendukung doktrin purgatorium, doa dan Misa bagi orang yang telah meninggal dunia (2 Makabe 12:43–45), serta manfaat perbuatan-perbuatan baik dalam memperoleh keselamatan (Tobit 12:9, Sirakh 7:33), yang kemudian kesemuanya itu oleh umat Protestan hingga saat ini dianggap sangat bertentangan dengan bagian-bagian lainnya dalam Alkitab.
Artikel utama: Kanon Luther |
Luther tidak sepenuhnya mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dari Perjanjian Lama Alkitab terjemahannya, ia menempatkan kitab-kitab tersebut dalam "Apokrifa, yakni kitab-kitab yang tidak dianggap setara dengan Kitab Suci, namun berguna dan baik untuk dibaca".[80] Ia juga melakukan banyak hal lain yang berhubungan dengan kanon. Luther berkehendak untuk memindahkan Kitab Ester dari Kanon ke dalam Apokrifa karena tanpa bagian-bagian deuterokanonikanya kitab tersebut tidak pernah menyebutkan Tuhan, namun tidak jadi dilakukannya. Ia mengatakan: "Apakah kitab itu membawa Kristus? Ya, karena bercerita tentang kelangsungan hidup orang-orang dari siapa Kristus datang."[81] Sebagai akibat dari apa yang dilakukan Luther, antara umat Katolik dan Protestan tetap menggunakan kanon yang berbeda, yang mana terdapat perbedaan sehubungan dengan Perjanjian Lama dan dalam konsep Antilegomena dari Perjanjian Baru.
Ada beberapa bukti bahwa keputusan awal untuk mengeluarkan kitab-kitab ini seluruhnya dari Alkitab dibuat oleh kaum awam Protestan bukannya kaum pendeta. Alkitab-Alkitab yang dihasilkan tidak lama setelah Reformasi Protestan memuat daftar isi yang memuat keseluruhan kanon Katolik Roma, tetapi sebenarnya tidak memuat kitab-kitab yang diperdebatkan tersebut, sehingga beberapa sejarawan menganggap bahwa para pekerja di percetakan membuangnya atas inisiatif mereka sendiri. Namun Alkitab-Alkitab Anglikan dan Lutheran pada umumnya masih memuat kitab-kitab ini sampai dengan abad ke-20, sedangkan Alkitab Calvinis tidak. Beberapa alasan yang diajukan untuk mengeluarkan kitab-kitab ini dari kanon antara lain adalah adanya dukungan untuk doktrin-doktrin Katolik seperti purgatorium dan doa untuk orang yang telah meninggal dalam Kitab 2 Makabe. Luther sendiri mengatakan bahwa ia mengikuti ajaran Hieronimus mengenai veritas Hebraica.
Artikel utama: Kanon Trente |
Konsili Trente pada tanggal 8 April 1546 menyetujui pemberlakuan Kanon Alkitab Katolik Roma sebagaimana adanya saat ini, yang memuat Kitab-kitab Deuterokanonika, sebagai sebuah tulisan keimanan (isi kanon itu sendiri telah ditegaskan kembali secara aklamasi), dan keputusan ini dikonfirmasi dengan anatema melalui pemungutan suara (24 setuju, 15 tidak, 16 abstain).[82] Kanon Trente dikatakan berisi daftar yang sama seperti yang dihasilkan dalam Konsili Florence (Sesi 11, tanggal 4 Februari 1442),[83] Konsili Kartago tahun 397-419,[73] dan mungkin Konsili Roma tahun 382.[49][50] Daftar ini juga ditetapkan kanonisitasnya dalam pengakuan iman yang diajukan untuk Gereja Ortodoks Suriah.[butuh rujukan]
Saat itu (pada Konsili Florence) daftar tersebut tidak dianggap mengikat bagi Gereja Katolik, dan karena tuntutan Martin Luther, Gereja Katolik mengkaji ulang kanon tersebut pada Konsili Trente, yang mana kemudian menegaskan kembali kanon dari Konsili Florence dan menambahkan klausul anatema terhadap segala upaya untuk mengubah isi kanon tersebut. Kitab-kitab Perjanjian Lama yang dahulu diperdebatkan diberi istilah deuterokanonika, bukan menandakan tingkatan pengilhaman yang lebih rendah tetapi karena persetujuan akhirnya belakangan. Di luar kitab-kitab ini, beberapa edisi Vulgata Latin memuat Mazmur 151, Doa Manasye, 1 Esdras (disebut 3 Esdras), 2 Esdras (disebut 4 Esdras), dan Surat kepada Jemaat di Laodikia dalam sebuah lampiran "Apogryphi".
Pada tanggal 2 Juni 1927, Paus Pius XI memutuskan bahwa Comma Johanneum dalam Perjanjian Baru menjadi terbuka untuk diperdebatkan; pada tanggal 30 September 1943, Paus Pius XII mengeluarkan ensiklik Divino afflante Spiritu yang menegaskan bahwa penerjemahan Alkitab Katolik dalam bahasa sehari-hari berdasarkan teks Ibrani, Yunani, dan Aramaik diizinkan kembali sejak pelarangannya dalam dekret Konsili Trente.[84]
Artikel utama: 39 Artikel Gereja Anglikan dan Alkitab Versi Raja James |
Gereja Inggris memisahkan diri dari Roma pada tahun 1534, dan menerbitkan 39 Artikel mereka dalam bahasa Latin pada tahun 1563 serta bahasa Inggris Modern Awal pada tahun 1571.[85] Artikel 6 dari revisi Amerika tahun 1801 diberi judul: "Tentang Kecukupan Kitab Suci demi Keselamatan":
Alkitab Versi Raja James asli tahun 1611 mencakup Apokrifa Versi Raja James yang sering kali dihilangkan dalam cetakan-cetakan modern. Kitab-kitab ini yaitu: 1 Esdras, 2 Esdras, Tobit, Yudit, Selebihnya dari Ester, Kebijaksanaan, Eklesiastikus, Barukh dan Surat Yeremia, Lagu Ketiga Pemuda, Kisah Susana, Dewa Bel dan Naga, Doa Manasye, 1 Makabe, 2 Makabe.[86]
Perang Saudara Inggris berlangsung mulai tahun 1642 sampai tahun 1649. Pada masa tersebut, Parlemen Panjang pada tahun 1644 memutuskan bahwa hanya Kanon Ibrani yang akan dibacakan dalam Gereja Inggris, dan pada tahun 1647 Pengakuan Iman Westminster menetapkan 39 kitab PL dan 27 kitab PB, sementara yang lainnya yang biasa diberi label "Apokrifa" tidak diikutsertakan.[87] Dekret tersebut pada masa kini merupakan kekhasan Protestan, suatu konsensus dari gereja-gereja Protestan yang tidak terbatas pada Gereja Skotlandia, Presbiterian, dan Calvinis, namun juga Baptis dan Anabaptis.[88]
Pemulihan Monarki kepada Charles II dari Inggris (1660–1685) menyebabkan Gereja Inggris sekali lagi didasarkan pada 39 Artikel, sebagaimana tercetak dalam Buku Doa Umum (1662), yang mana secara eksplisit tidak menyertakan Apokrifa tersebut dalam tulisan-tulisan yang terilhami karena dianggap tidak cocok untuk pembentukan doktrin, namun mengakui nilainya untuk pendidikan sehingga jemaat diperkenankan untuk membaca dan mempelajarinya. Menurut The Apocrypha, Bridge of the Testaments:
Artikel utama: Sinode Yerusalem (1672) |
Kanon Gereja Ortodoks Timur mencakup kitab-kitab yang termasuk dalam tradisi liturgi, Bisantin, Patristik, dan Septuagintal mereka. Dalam Sinode Yerusalem pada tahun 1672, Gereja Ortodoks menetapkan kanonisitas kitab-kitab berikut ini:
Tidak semua kitab dari Perjanjian Lama tercakup dalam Prophetologion, yakni leksionari Perjanjian Lama yang resmi:[91] "Karena satu-satunya pengenalan yang didapat kebanyakan umat Kristen Timur dari Perjanjian Lama adalah dari bacaan-bacaan selama ibadat, Prophetologion dapat disebut sebagai Perjanjian Lama Gereja Bisantin."[92]
Finally on 8 April 1546, by a vote of 24 to 15, with 16 abstensions, the Council issued a decree (De Canonicis Scripturis) in which, for the first time in the history of the Church, the question of the contents of the Bible was made an absolute article of faith and confirmed by an anathema.
Nor is it forbidden by the decree of the Council of Trent to make translations into the vulgar tongue, even directly from the original texts themselves, for the use and benefit of the faithful and for the better understanding of the divine word, as We know to have been already done in a laudable manner in many countries with the approval of the Ecclesiastical authority